Jumat, 17 Desember 2010

TRADISI KLIWONAN DI KAB.BATANG

Tradisi didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, kebiasaan,
kepercayaan, kesenian dari generasi ke generasi, dari leluhur ke anak cucu secara
lisan. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia yang mempunyai obyek
material, kepercayaan, khayalan, kejadian atau lembaga serta diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Koentjaraningrat. 1990:45).
Tradisi Kliwonan telah berjalan secara turun-temurun dari generasi nenek
moyang sampai generasi selanjutnya anak cucu. Pada malam Jumat Kliwon di
alun-alun Batang, dan tradisi Jumat Kliwon merupakan suatu rangkaian tradisi
yang telah menjadi salah satu pola kehidupan masyarakat setempat. Namun tidak
dapat diketahui secara pasti kapan tepatnya tradisi tersebut pertama kali
dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya (Wawancara Bpk Basuki, 2 Juni
2006, pkl 21.00 WIB).
Tradisi malam Jumat Kliwon atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Kliwonan berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda dari daerah setempat yaitu
Kabupaten Batang. Pada mulanya tradisi ini diadakan dengan maksud untuk
mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Batang yang dulunya telah
membangun daerah Batang. Tradisi Kliwonan yang dulunya digunakan untuk
ajang melakukan ritual-ritual sederhana kemudian berkembang seperti sekarang
ini.
37
Kliwonan di daerah Batang mengalami perubahan dari bentuk dan fungsi
yang secara sesungguhnya. Pada awalnya Tradisi Kliwonan merupakan sarana
atau
tempat pengobatan bagi orang sakit. Seiring dengan perkembangan masyarakat
yang mencakup multi dimensi, tradisi Kliwonan mengalami perubahan fungsi
menjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan pasar kliwonan. Tradisi
kliwonan ini diselenggarakan di alun-alun Kota Batang setiap 35 hari sekali atau
disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa tepatnya pada malam Jumat
Kliwon (Wawancara Bpk Basuki 2 Juni 2006, pkl 21.00 WIB).
Menurut cerita Tradisi Kliwonan pada masa itu bermula ketika pada jaman
pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram, Batang dahulu masih berupa
hutan-hutan besar dan luas yang disebut Alas Roban. Di Alas Roban ini ada
sekelompok perampok yang sangat berbahaya dan selalu meresahkan masyarakat
setempat, kadang juga mengganggu orang-orang yang lewat di daerah tersebut.
Sultan Agung dalam upaya memperluas wilayah Kerajaan Mataram,
memerintahkan seorang punggawa kerajaannya yang sakti bernama Ki Ageng
Cempaluk dengan menebang hutan Alas Roban dan sekaligus memusnahkan para
perampok di hutan tersebut. Alas Roban ini nantinya akan dijadikan lahan
persawahan yang selain untuk pertanian bagi masyarakat, juga untuk mencukupi
kebutuhan bahan makanan bagi prajurit Mataram yang sedang berperang melawan
Belanda (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan 1984).
Punggawa kerajaan yang telah mendapatkan perintah dari Sultan Agung
tersebut kemudian memerintahkan anak buah sekaligus muridnya yang bernama
Joko Bahu atau Bahurekso. Pelaksanaan tugas dimulai dengan penebangan hutan,
38
dan pembuatan bendungan di sungai Lojahan. Bendungan di sungai Lojahan
tersebut digunakan untuk mengairi persawahan di daerah tersebut. Tetapi
dalam
melaksanakan tugas tersebut Bahurekso mendapat perlawanan dari perampok.
Pertempuran sama-sama kuatnya di kedua belah pihak dan tidak ada yang
terkalahkan. Tapi dengan perlawanan yang kuat, akhirnya Bahurekso berhasil
mengalahkan para perampok tersebut (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten
Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Setelah perlawanan Bahurekso selesai kemudian mulai melanjutkan
penebangan hutan dan dilakukan dari arah timur yaitu mulai daerah Subah ke
Barat hingga ke Sungai Lojahan. Di Sungai tersebut kemudian dibangun sebuah
bendungan yang digunakan untuk menampung dan mengalirkan air sungai tersebut
ke daerah yang baru saja ditebang pohonnya, sehingga lahan tersebut menjadi
lahan yang siap tanam. Pada waktu Bahurekso membangun bendungan di Sungai
Lojahan, pernah bersemedi di tepi Sungai ini pada hari Jumat Kliwon, dengan
maksud agar proses pembuatan bendungan di tepi sungai tersebut berhasil.
Peristiwa itulah yang kemudian dikenal dengan nama sungai Kramat, karena
sungai tersebut dipercaya mempunyai hal yang berbau keramat (Buku Kumpulan
Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Menurut Bapak Basuki yaitu salah satu informan dalam penelitian ini,
menyatakan bahwa Bahurekso adalah seorang yang memberi nama daerah Batang.
Ada beberapa versi mengenai alasan dalam pemberian nama Batang. Versi
pertama adalah menurut Bapak Basuki bahwa nama Batang diambil dari kata
Ngembat, karena pertempuran antara Bahurekso dan para perampok yang sama39
sama kuatnya atau tidak ada pemenangnya alias ngembat dan akhirnya berubah
menjadi Batang. Versi yang kedua adalah menurut buku Kumpulan Cerita di
Kabupaten Batang yang tidak diterbitkan, bahwa kata Batang berawal dari kata
Ngembat Watang2 yang ceritanya berawal dari ketika Bahurekso sedang
melaksanakan pembangunan bendungan di sungai Lojahan terdapat kayu besar
atau watang yang melintang di sungai tersebut sehingga pembuatan bendungan
mengalami sedikit kesulitan. Kemudian Bahurekso melakukan semedi atau untuk
mendapatkan kekuatan gaib. Setelah bersemedi segeralah Bahurekso menuju ke
pohon watang yang melintang tersebut dan mengangkat serta mematahkan kayu
tersebut atau dikenal dengan istilah ngembat watang. Melalui kejadian tersebut
maka daerah di tempat Bahurekso melakukan pembangunan tersebut kemudian
dikenal dengan nama Batang hingga sampai sekarang ini menjadi Kabupaten
Batang (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Batang kemudian menjadi suatu daerah walaupun tidak besar, tidak ada
sumber yang menyebutkan bagaimana mengenai Bahurekso. Namun beliau
dianggap sebagai leluhur masyarakat Batang. Pada suatu ketika ada seorang
keturunan Sunan Sendang (Sayid Nur atau Raden Nur Rachmat) dari desa Sendang
Dhuwur di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur yang bernama
Pangeran Alit atau dikenal dengan sebutan Raden Joko Cilik mendapatkan wangsit
dalam mimpinya agar ia pergi ke barat Alas Roban untuk melaksanakan dakwah.
Kemudian beliau berangkat ke Batang. Batang termasuk wilayah dari Karajaan
Mataram maka sebelum berangkat beliau minta ijin kepada wakil Raja Mataram di
2 Ngembat Watang adalah batang pohon yang melintang di sungai Lojahan
40
Jepara untuk membangun daerah Batang (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten
Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Pada saat itu Batang di bawah kekuasaan Bupati yang bernama Pangeran
Mandurejo. Kemudian Pangeran Joko Cilik dijadikan pejabat Bupati di Batang
untuk membantu pemerintahan Kabupaten Batang. Pangeran Mandurorejo tidak
langsung memerintah Batang, karena dalam kesehariannya beliau mendampingi
Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Pengeran Madurorejo selain menjadi Bupati
pertama di Batang, beliau juga panglima perang Sultan Agung saat menyerang
VOC di Betawi.
Pelaksanaan pemerintahan Kabupaten Batang dipercayakan kepada Raden
Joko Cilik hingga masa pemerintahan Bupati ke II yaitu Kanjeng Ratu Batang
(Sekar Ayung atau Putri Prahila) yang merupakan putri dari Pangeran Madurorejo.
Saat menjadi pejabat Bupati tersebut, beliau juga menjadi pendahulu Batang dan
kerap menjadi imam Masjid Agung Batang, di mana beliau juga ikut andil dalam
pembuatan masjid tersebut (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak
diterbitkan, 1984)
Tradisi Kliwonan yang sekarang ini pada mulanya diadakan dengan
pertimbangan untuk mengenang para leluhur masyarakat Batang yaitu Bahurekso
yang dahulu pernah bersemedi di sungai Lojahan atau Kramat. Terdapat kebiasaan
di makan Sunan Sendang atau Sayid Nur pada setiap malam Jumat Kliwon banyak
orang-orang datang ke sana untuk berziarah, kemudian ditiru oleh masyarakat
Batang. Masyarakat Batang khususnya para orang tua sering bersemedi di sungai
Kramat (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
41
Mengenai tradisi yang dilaksanakan di alun-alun Batang pada hari Kamis
Wage yaitu berupa upacara ngalap berkah (mencari Berkah) dan juga dalam
rangka penyembuhan dan kesehatan untuk anak-anak kecil dengan melakukan
beberapa ritual yaitu ritual gulingan, mandi di Masjid Agung Batang dan
membuang pakaian bekas yang dipakainya sewaktu ritual gulingan dan membagibagikan
uang logam serta makanan khas pasar (jajan pasar). Air yang digunakan
untuk membasuh muka atau untuk mandi dalam ritual tersebut terletak di tempat
wudlu Masjid Agung sebelah selatan dan konon air tersebut berasal dari mata air
yang terdapat di dekat makam Sunan Sendang yang dibawa Raden Joko Cilik ke
Batang. Air itu dipercaya dapat menyembuhkan penyakit atau menghindari dari
segala penyakit (Wawancara Bpk Usman, penjaga masjid 26 Juni 2006, pkl 16.30
WIB).
B. Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Kliwonan
Menurut Koentjaraningrat nilai merupakan sebuah unsur penting dalam
kebudayaan. Nilai membimbing manusia untuk menentukan apakah sesuatu itu
boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, nilai merupakan sesuatu yang
abstrak tentang tujuan adanya budaya yang akan kita bangun bersama melalui
bahasa, simbol dan pesan-pesan verbal maupun nonverbal (Liliweri 2002:50). Jadi
nilai itulah yang membentuk sikap individu mengenai sesuatu itu bermoral dan
tidak bermoral, benar atau salah, dan baik atau buruk, indah atau jelek
(Koentjaraningrat. 2002:27).
Sistem pemaknaan dalam kebudayaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek
kognitif dan aspek evaluatif. Aspek kognitif ini menentukan orientasi sekelompok
42
orang terhadap tempat hidupnya. Melalui pemahaman terhadap aspek evaluatif ini
akan diperoleh suatu pengetahuan dan kepercayaan tertentu yang
ditransformasikan menjadi nilai-nilai yang pada gilirannya akan mengkristal
menjadi sistem nilai. Sistem nilai inilah yang menentukan sikap mengenai perihal
kehidupannya, yang kesemuanya itu ditanggapi menurut sistem makna atau sistem
kognitif yang dianut (Poerwanto, 2000:59).
Michael Landmann dalam bukunya Filosofische Antropologie menyatakan
bahwa setiap karya manusia niscaya mempunyai tujuan. Setiap benda alam sekitar
yang disentuh dan dibudidayakan manusia mengandung suatu makna dan nilai.
Nilai atau makna yang diperoleh manusia bermacam-macam, misalnya nilai sosial,
ekonomis, keindahan, keagamaan dan sebagainya. Setiap hasil karya manusia,
menyimpan bentuk dan isi kemanusiaan. Oleh karena itu setiap benda budaya
menunjukkan maksud, nilai serta gagasan-gagasan penciptanya.
Salah satu fungsi dari upacara tradisional adalah sebagai penguat normanorma
serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku. Norma-norma dan nilai-nilai
budaya tersebut secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk
upacara dilakukan oleh seluruh warga masyarakat pendukungnya. Karena itu
menurut Rahmad Subagyo upacara merupakan kelakuan simbolis yang
mengkonsolidasikan tata tersebut (Subagyo dalam Subhan 1985:116). Upacara
tradisi merupakan salah satu ungkapan budaya yang banyak mengandung nilainilai
yang dapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi penerus.
Kliwonan ini dikatakan suatu tradisi karena dilaksanakan secara turuntemurun
dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai banyak makna serta nilai-nilai
43
di dalamnya. Seperti halnya dalam tradisi Kliwonan yang sekarang ini kemudian
memunculkan empat unsur nilai budaya, sosial, agama dan ekonomi yang
merupakan perangkat struktur dalam kehidupan masyarakat Batang terkait dengan
tradisi Kliwonan ini baik secara individu maupun secara sosial (Kuntowijoyo,
2006:3).
Nilai-nilai budaya dalam tradisi Kliwonan telah menyatu dengan jiwa
masyarakat pendukungnya tanpa mereka sadari, seperti solidaritas diantara
masyarakat pendukung. Dalam tradisi ini tidak terdapat norma-norma mengikat,
sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang dilakukan. Norma aturan tersebut
adalah suatu kesepakatan bersama yang tidak tertulis, secara sadar dan tidak sadar
mereka melaksanakan tradisi Kliwonan sesuai dengan cara dan kebiasaan mereka
tersebut, seperti pelaksaan ritual mandi, berdagang dan berjalan-jalan
(Koentjaraningrat. 2000:9-10).
Nilai budaya bersifat umum, abstrak dan luas, namun nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan selalu menjadi bagian dari jiwa dan emosional warga
yang bersangkutan, karena sejak kecil dia telah meresapi nilai-nilai budaya dalam
masyarakat tempat ia tinggal. Oleh karena itu konsep-konsep mengenai nilai
budaya dalam kebudayaan tersebut telah berakar memenuhi ruang jiwanya.
Bock dalam bukunya Modern Cultural Anthropology (1974: 354-378)
menuturkan bahwa nilai budaya itu mencakup tiga bagian, yaitu moralitas, estetika
dan etos. Namun dalam tradisi Kliwonan yang terkandung di dalamnya adalah
nilai moralitas dan etos (Bock, 1974: 354-378).
44
Nilai mentalitas suatu penilaian terhadap tindakan yang dianggap baik. Dan
setiap budaya pasti mempunyai kategori dan standar untuk mengevaluasi tingkah
laku atau tindakan tindakan berpola manusia. Dalam tradisi Kliwonan nilai
moralitas mencakup pada solidaritas diantara masyarakat pendukung, tindakan
berpola yang terdapat dalam tradisi Kliwonan yang dianggap pantas, hubungan
dengan anggota-anggota baru dan nilai ketertiban (Koentjaraningrat, 2002:35).
Mengapa solidaritas termasuk dalam nilai moralitas? Karena solidaritas
dan gotong-royong merupakan ciri-ciri utama hidup kemsyarakatan orang Jawa
yang kenal dengan semangat tolong-menolong dan sebagainya. Jadi jika ada orang
yang suka dengan bersamaan dan tinggi rasa solidaritasnya maka ia akan dianggap
baik dan kadang bisa dijadikan panutan. Memang seiring dengan arus globalisasi,
semangat solidaritas sudah sedikit mengalami kemunduran, begitu juga dengan
sebagian kecil orang Jawa. Mereka yang khususnya hidup di kota-kota besar
karena sudah sibuk dengan urusannya masing-masing cenderung tidak perduli
dengan keberadaan orang lain. Namun lain halnya dengan penduduk yang
berdomisili di daerah pedesaan atau kota-kota kecil yang masih memiliki rasa
solidaritas dan gotong-royong diantara sesamanya yang membutuhkan. Dalam
tradisi Kliwonan nilai solidaritas tidak begitu besar diantara masyarakat
pendukungnya. Hal tersebut karena tradisi Kliwonan adalah suatu peristiwa yang
hanya terjadi 35 hari sekali, jadi masyarakat pendukungnya hanya sekali saja pada
hari tersebut. Kemudian mereka akan pergi meninggalkan tradisi Kliwonan
menuju ke tempat tujuan masing-masing. Disisi lain dengan hanya pertemuan yang
sekali itu akan terjadi berkali-kali pertemuan yang dapat menimbulkan rasa
45
kebersamaan dan solidaritas di antara mereka, khususnya yaitu para pedagang.
Mereka berasal dari berbagai daerah, suku bangsa dan budaya. Dengan adanya
pertemuan para pedagang di pasar Kliwonan mereka dapat saling kenal dan
kemudian saling membutuhkan. Para pedagang tersebut pada umumnya tidak
merasa saling menyaingi satu dengan yang lainnya atau iri dengan hasil
keuntungan orang lain ketika berdagang di Kliwonan. Mereka beranggapan bahwa
rejeki masing-masing orang sudah diatur oleh Tuhan, dan bahwa tradisi Kliwonan
pasti membawa berkah bagi orang yang berjualan di Kliwonan. Memang tidak
terdapat komunitas khusus atau paguyuban antar pedagang di tradisi Kliwonan.
Mereka biasanya hanya datang dan pergi begitu saja ketika tradisi Kliwonan sudah
selesai. Namun hal tersebut tidak menghalang-halangi bagi masyarakat
pengunjung untuk tidak saling mengenal dan mengakrabi. Tindakan berpola dalam
tradisi Kliwonan meliputi pelaksaan ritual mandi dan membuang pakaian,
berdagang untuk memberi keuntungan dan juga untuk mendapatkan berkah,
berjalan-jalan memutari alun-alun, bersodaqoh di kotak amal Masjid Agung,
menonton hiburan di jalan Veteran, dan perilaku lainnya yang biasa dilakukan
orang-orang layaknya di pasar dan di tengah keramaian. Tindakan berpola
dikatakan sebagai nilai moralitas karena bagi masyarakat pendukung Kliwonan
telah mempunyai tindakan berpola tersendiri yang menjadi simbol yang dianggap
pantas bagi masyarakat pendukungnya. Memang tidak ada sanksi tersendiri bagi
seseorang jika tidak melakukan berpola sesuai dengan adat dan kebiasaan di
Kliwonan, namun akan menjadi hal yang aneh dianggap tidak “afdhol” jika tidak
46
melakukan hal-hal tersebut di atas (Wawancara Ibu Wening. 26 Juni 2006. pkl
17.00).
Kebudayaan merupakan seperangkat aturan dan norma yang dimiliki oleh
suatu masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan
perilaku dan tindakan berpola yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para
anggotanya.
Talcott Parsons (dalam Koentjaraningrat, 1990: 221-222) dan ahli
antropologi lainnya memandang kebudayaan sebagai tindak manusia yang berpola
dan mereka sebut dengan Kerangka Teori Tindakan, yang didalamnya terdapat
komponen yang perlu dibedakan, yaitu:
1. Sistem budaya atau cultural system merupakan komponen yang abstrak
dari kebudayaan, yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, tematema
berpikir dan keyakinan-keyakinan;
2. Sistem sosial sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu
dengan yang lain;
3. Sistem kepribadian yaitu di mana kepribadian individu telah dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan oleh pola-pola
bertindak dalam sistem sosial melalui proses sosialisasi dan proses
pembudayaan selama hidup sejak masih kecil;
4. Sistem organik, organisme manusia sebagai makhluk alamiah ikut
menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia dan
gagasan-gagasan yang dicetuskan (Koentjaraningrat, 1990:221-222)
Keempat sistem dalam kerangka teori tindakan tersebut terlihat dalam
tindakan dan perilaku masyarakat pendukung Kliwonan dalam pelaksanaan tradisi
47
Kliwonan, gagasan, konsep dan keyakinan-keyakinan yang menciptakan tradisi
Kliwonan menjadi suatu sistem budaya yang memantapkan tindakan-tindakan
dalam tradisi Kliwonan sehingga menjadi suatu tindakan berpola. Tindakan
tersebut berkaitan dengan yang lain, seperti keramaian pasar malam Kliwonan
yang mengundang antusias pengunjung untuk meramaikannya atau untuk sekedar
melihat-lihat atau memebeli barang yang dibutuhkan. Sistem kepribadian yang
dapat menciptakan pola perilaku seorang anggota masyarakat pendukung
Kliwonan yang juga dapat dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam tradisi tersebut.
Cara alamiah sistem organik manusia menentukan kepribadian individu.
Tradisi Kliwonan merupakan tradisi yang berupa pasar malam atau sebuah
pasar biasa yang dilakukan pada sore hari sampai malam hari. Layaknya sebuah
pasar tentu saja di Kliwonan sangat ramai oleh pedagang dengan barang
dagangannya serta pengunjung yang berjalan-jalan sehingga menambah keramaian
tradisi Kliwonan. Keramaian di Kliwonan begitu luar biasa. Terjadi antrian yang
panjang di jalanan berpaving di laun-alun yang dikanan kirinya terdapat banyak
pedagang dengan barang dagangannya. Apalagi jika tradisi Kliwonan terjadi pada
tepat dengan tanggal muda di mana kebanyakan masyarakat kita mendapat upah
kerja pada tanggal tersebut. Seluruh ruas jalan di alun-alun selalu padat orangorang.
Dan dalam keramaian tersebut situasi dan kondisi terbilang cukup aman dan
terkendali dengan kata lain pelaksanaam pasar malam Kliwonan berjalan dengan
lancar dan tertib. Hal itu menunjukkan adanya nilai ketertiban yang tanpa sadar
diciptakan oleh segenap masyarakat pendukung tradisi Kliwonan. Ketertiban yang
ada di Kliwonan diantaranya tidak terdapat kerusuhan atau perkelahian baik di
48
alun-alun atau pasar malam maupun di tempat panggung pertunjukan kesenian dan
pemutaran film. Walaupun berdesak-desakan di dalam pasar, namun masyarakat
pendukung tetap saling menghormati kepentingan masing-masing dan menjaga
ketertiban dalam pelaksanaan tradisi Kliwonan. Ketentuan secara khusus atau
pengenaan denda dari pemerintah setempat mengenai ketertiban di Kliwonan. Jadi
ketertiban tersebut tercipta dengan sendirinya. Pemerintah kota hanya mengurusi
masalah kontrak kepemilikan stand untuk berjualan. Hal itu adalah salah satu
antisipasi pemerintah setempat untuk menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksaan
tradisi Kliwonan (Wawancara Bpk Dedy. 26 Juni 2006, pkl 16.00 WIB).
Nilai budaya yang terkandung dalam Kliwonan adalah etos, yang menurut
Bock (1974:371) yaitu merupakan sebuah usaha untuk mengurangi kerumitan pada
sebuah sistem nilai, terhadap beberapa pola dasar yang mempengaruhi semua
bagian dari sistemnya dan menghitung kesesuaian, contohnya dengan ekonomi,
moral dan estetik.
Sebagian besar masyarakat pendukung Kliwonan adalah orang Jawa.
Orang Jawa terkenal dengan falsafah hidupnya yang cenderung bersikap nrimo,
sabar dan unggah-ungguh, yaitu nrimo sebagai sikap yang mau menerima apa
adanya, sabar yaitu sikap yang selalu mau melapangkan hati dan tidak terburuburu
dalam segala hal, serta unggah-ungguh yaitu etika dan tata krama. Sistem
berpikir yang bernuansa mitos juga terbawa pula untuk hampir keseluruhan orang
Jawa, baik mereka yang sudah tergolong maju. Jadi orang Jawa begitu pula
masyarakat pendukung Kliwonan sarat dengan pemikiran-pemikiran yang berbau
mitos. Sikap-sikap tersebut menjadi etos kerja masyarakat pendukung tradisi
49
Kliwonan adalah pandangan moral masyarakat pendukung Kliwonan (pedagang)
terhadap kerja. Para pedagang tidak begitu berambisi dalam melaksanakan
kegiatan mencari untung di pasar malam. Mereka cenderung bersabar dalam
menunggu pembeli dan nrimo jika hasil penjualannya tidak memberikan
keuntungan yang banyak, namun mereka juga percaya adanya mitos tentang
berdagang di Kliwonan (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak
diterbitkan. 1984)
Masyarakat pendukung Kliwonan yang mempunyai nilai kepercayaan atau
mitos. Mitos berkembang dari jaman dahulu di antara masyarakat pendukung
tradisi Kliwonan hingga sekarang. Walaupun masyarakat pendukung modern tidak
begitu memperhatikan mitos-mitos tersebut karena yang mereka lakukan di
Kliwonan tidak maksud tertentu yang sangat khusus mengenai mitos tersebut.
Mitos-mitos yang sering disebutkan dan berkembang di antara masyarakat
pendukung di Kliwonan adalah pelaksanaan ritual jika ingin mendapatkan berkah
(ngalap berkah) di antaranya adalah sarana pengobatan atau penyembuhan
penyakit dan mencari jodoh. Mitos lainnya adalah jika berdagang di pasar malam
Kliwonan pasti akan mendapat untung yang banyak, makan Gemblong dan
Klepon3 akan mendapat panjang umur, adanya sanksi dari alam jika Kliwonan
tidak dilaksanakan atau pindah lokasinya, dan juga ada kepercayaan bahwa di
antara pengunjung yang datang di pasar malam kliwonan yang ramai dan sesak
tersebut tidak semuanya adalah manusia tetapi juga dipadati oleh makhluk halus
(Wawancara Bpk Basuki. 2 Juni 2006. pkl 21.00 WIB).
3 Gemblong: jajan yang terbuat dari ketan, Klepon: jajan yang terbuat dari tepung beras.
50
Seperti yang diungkapkan di muka bahwa pada tradisi Kliwonan pada
masa dahulu masyarakat pendukung ikut maramaikan tradisi karena khusus ingin
melakukan ritual ngalap berkah. Namun pada masa sekarang ritual tersebut
dilakukan oleh sebagian masyarakat pendukung saja, khususnya para ibu-ibu yang
ingin mengobati anaknya.
Mengenai mitos berkah berdagang di Kliwonan memang dipercaya oleh
pedagang di tradisi Kliwonan. Dari penuturan para pedagang yang sekarang
mengakui bahwa mereka berdagang memang karena itu adalah mata pencaharian
mereka dan penghasilan sehari-hari mereka berasal dari berdagang tersebut. Jadi
mereka tidak begitu terobsesi oleh mitos tersebut. Namun mereka juga mengakui
bahwa mitos tersebut kadang ada benarnya, karena itu terkihat dari pengorbanan
atau modal mereka yang tidak sedikit untuk berdagang di pasar Kliwonan.
Walaupun mereka berasal dari luar daerah Batang, mereka tetap datang untuk
berjualan, padahal biaya untuk perjalanan menuju ke Batang saja pasti sudah
menghabiskan biaya yang banyak. Ternyata mereka tidak memperdulikan hal
tersebut, dan itu menjadi bukti bahwa mereka masih mengharapkan kebenaran dari
mitos berkah berdagang di Kliwonan.
Menurut penuturan dari Bapak Basuki bahwa berkah dari makan-makanan
khas Kliwonan yaitu Gemblong dan Klepon, hal tersebut pernah disarankan oleh
Kanjeng ratu Bupati (Bupati ke 11) pada jaman dahulu. Menurut Bapak Basuki
makanan Gemblong dan Klepon memiliki makna tersendiri, yaitu Gemblong yang
lengket dapat diartikan sebagai kerekatan antar masyarakat pendukung Kliwonan
(persaudaraan), kerekatan budaya dan kerekatan jodoh sehubungan mitos ngalap
51
berkah dalam mencari jodoh di tradisi Kliwonan. Gemblong yang berwarna putih
dapat dilambangkan sebagai kesucian. Sedangkan Klepon yang luarnya berwarna
hijau dilambangkan sebagai keagamaan, yang artinya tradisi Kliwonan (jaman
dahulu) sarat dengan nilai-nilai agama, santan dilambangkan sebagai inti
perdalaman agama dan cairan gula di dalam Klepon yang berwarna merah sebagai
lambang keberanian. Namun bagi masyarakat pendukung yang sekarang terkadang
tidak terpengaruh oleh mitos tersebut karena memang sebagian ada yang tidak tahu
dan jika mereka tahu maka hal itu tidak begitu mempengaruhi mereka. Alasan
mereka membeli dan makan Gemblong-Klepon hanya karena suka atau memang
makanan kegemaran.
Mitos berikutnya yaitu mengenai sanksi alam jika tradisi Kliwonan tidak
dilaksanakan. Sebenarnya yang terjadi mungkin bahwa sanksi alam tetapi
masyarakat mempercayai hal itu sebagai kemarahan nenek moyang mereka dan
juga pohon beringin yang marah karena ini berbau mistis. Tetapi suatu kali pernah
pada jaman dahulu dan tidak diketahui pada tahun berapa, bahwa pohon beringin
di tengah alun-alun kota Batang meledak atau terdengar suara ledakan. Kemudian
masyarakat di sekitar menghampiri sumber suara ledakan tersebut adalah seperti
petasan atau mercon, tetapi di tempat tersebut tidak ada bekas kertas-kertas atau
sisa-sisa ledakan petasan. Maka dari itu masyarakat mempercayai hal tersebut
sebagai kemarahan pohon beringin. Peristiwa tersebut terjadi setelah suatu saat
tradisi Kliwonan atau pasar malam tidak dilaksanakan, dan pernah ada rencana
dari pemerintah setempat akan memindahkan lokasi penyelenggaraan tradisi
52
Kliwonan di lapangan Dracik Kelurahan Proyonanggan Selatan Kecamatan
Batang.
Di tempat lapangan Dracik diharapkan dapat menghindari kemacetan,
karena termasuk daerah yang sepi. Hal tersebut kemudian memberatkan para
pedagang yang berjualan di pasar Kliwonan, karena dianggap terlalu jauh dari
jalan raya apalagi para pedagang yang berjualan di Kliwonan, karena dianggap
terlalu jauh akhirnya oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa leluhur dan juga
pohon beringin tidak setuju jika lokasi penyelenggaraan Kliwonan dipindahkan
apalagi ditiadakan. Namun ada atau tidaknya kepercayaan dan mitos tersebut tidak
merugikan masyarakat pendukung maupun pemerintah setempat, karena tradisi
Kliwonan tetap tertib dan lancar seperti sebagaimana adanya hingga sekarang ini.
Mitos lainnya adalah tentang keberadaan makhluk halus yang ikut
meramaikan tradisi Kliwonan. Dalam hal ini juga tidak ada penjelasan secara
khusus, karena hal ini menyangkut di luar nalar manusia. Konon makhluk halus
tersebut beramai-ramai datang ke Kliwonan dengan menjelma menjadi manusia
biasa. Ada pengakuan dari beberapa masyarakat pendukung yang membenarkan
keberadaan makhluk halus tersebut. Tetapi mereka (makhluk halus) tidak
mengganggu jalannya tradisi Kliwonan, terbukti dengan adanya tradisi tetap
berjalan dengan lancar dan tanpa ada kendala (Wawancara Bpk Basuki. 2 Juni
2006.pkl 21.00 WIB).
C. Makna dari Tradisi Kliwonan bagi Masyarakat Batang dan Sekitarnya
53
Masyarakat Batang melakukan tradisi Kliwonan dalam rangka untuk
mengenang pendahulu mereka yaitu Bahurekso yang telah membabad atau
membuka daerah Batang. Salah satu alasan mengapa dilaksanakannya tradisi ini
pada hari Jumat Kliwon, karena pada hari tersebut Bahurekso bertapa untuk
mendapatkan kekuatan, sehingga dipercaya oleh para keturunannya bahwa pada
hari itu merupakan hari yang keramat. Selain untuk mengenang jasa leluhur
masyarakat batang, tradisi Kliwonan juga digunakan untuk media ngalap berkah
(mencari berkah), di antranya yaitu mencari jodoh, sarana pengobatan, mencari
keuntungan dalam berdagang. Jadi yang dimaksud dengan ngalap, berkah dalam
tradisi Kliwonan itu meliputi ritual sebagai sarana pengobatan (guling-guling,
mandi, membuang pakaian), berdagang untuk mencari berkah, berkah dari makan
Gemblong dan Klepon, mencari jodoh dan lain-lain (Wawancara Bpk Basuki. 2
Juni 2006.pkl 21.00 WIB)
Seiring dengan perkembangan jaman tradisi Kliwonan ini pun mulai
berkembang dan kemudian mulai berbentuk seperti pasar malam. Kini maksud dan
tujuan melaksanakan tradisi Kliwonan pun mulai bertambah yaitu ingin mencari
rezeki bagi para pedagang di tengah keramaian dan para pengunjung yang sekedar
berjalan-jalan untuk mencari kesenangan di tengah keramaian kota atau membeli
barang yang ingin dibeli di pasar malam tradisi Kliwonan.
Masih ada sebagian masyarakat pendukung tradisi yang melakukan ritual
penyembuhan penyakit bagi anak kecil dan beberapa muda-mudi yang sedang
mencari jodoh yaitu dengan cara mencari kenalan dengan sesama pengunjung
yang masih muda. Jadi dalam tradisi Kliwonan ini masyarakat pendukung
Kliwonan pada umumnya hanya ingin mencari hiburan pada tradisi tersebut, atau
54
memang sengaja ingin membeli barang yang diinginkan dan kepercayaan para
pedagang terhadap berkah berdagang di pasar malam Kliwonan (Wawancara Bpk
Tommy, 26 Juni 2006, pkl 20.00 WIB).
Telah dikemukakan diatas bahwa tradisi Kliwonan adalah kegiatan yang
dilaksanakan secara turun-temurun seiring perkembangan daerah Batang. Tidak
terdapat sumber dan data secara pasti kapan pertama kali tradisi ini dilaksanakan
dan tradisi ini berkembang sesuai dengan perubahan sosial budaya dan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya.
D. Pelaku Tradisi Kliwonan
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terkait oleh
suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang terorganisasi
yang hidup dan bekerja sama, yang berinteraksi dalam mencapai tujuan bersama
(Joyomartono, 1991:12).
Masyarakat pendukung tradisi Kliwonan ini sangatlah beragam.
Masyarakat pendukung terdiri dari pedagang yaitu penjual barang dagangan dan
penjual jasa, pengunjung yaitu pegunjung yang berekreasi serta berbelanja dan
pelaku ritual, seniman, pihak pemerintah setempat yang bersangkutan dengan
penyelenggaraan Kliwonan.
Pedagang yang berada di pasar kliwonan merupakan salah satu subjek
dalam penelitian ini. Pada mulanya pedagang di Kliwonan terbilang cukup sedikit.
55
Dulunya para penjual hanya diwakili oleh penjual makanan seperti Gemblong dan
Klepon serta kacang rebus, dan penjual mainan anak-anak, karena banyak anakanak
yang diikutkan oleh orang tuanya untuk disembuhkan dari penyakit.
Kemudian terjadilah pergeseran budaya, dimana para pedagang mulai memadati
alun-alun Kota Batang yang antara para pedagang tidak hanya penjual makanan
saja tetapi juga terdiri dari pedagang pakaian, tanaman hias, perabot rumah tangga
dari plastik, sepatu atau sandal, kaos kaki dan lain-lain. Dengan keadaan tersebut
kemudian tradisi Kliwonan dapat dikatakan sebagai pasar malam. Dengan keadaan
tersebut kemudian tradisi Kliwonan juga banyak yang berasal dari daerah luar
Kabupaten Batang, yaitu misalnya pedagang tanaman hias ada yang berasal dari
Tawangmangu, Tegal, Cirebon (hasil wawancara dengan Bapak Karjo). Dan
pedagang lainnya ada yang datang dari Pekalongan, Semarang, Bandung,
Surabaya dan bahkan dari Batam. Para pedagang tersebut biasanya mengetahui
adanya tradisi Kliwonan dari sesama teman pedagang. Para pedagang yang berasal
dari Batang maupun yang dari luar Batang mempunyai kepercayaan bahwa kalau
setelah berjualan di pasar malam kliwonan akan mendapatkan pelanggan atau
rejeki yang lebih banyak. Kepercayaan itu masih berlangsung sampai sekarang.
Tradisi Kliwonan bagi para pedagang merupakan salah satu ajang besar
untuk mencari rejeki. Sedangkan kategori penjual yang kedua adalah penjual jasa
yaitu tukang parkir. Jasa pemarkiran ini merupakan jasa dadakan karena bukan
mata pencaharian sehari-hari. Orang-orang yang menjadi tukang parkir dadakan di
sekitar alun-alun hanya jika ada pasar malam Kliwonan atau acara-acara besar
56
yang dilaksanakan di alun-alun (Wawancara Bpk Basuki. 2 Juni 2006. pkl 21.00
WIB).
Pengunjung tradisi ini kebanyakan berasal dari Kabupaten Batang itu
sendiri, dan mempunyai beragam tujuan mendatangi kliwonan, yaitu pengunjung
yang ingin berekreasi dan pengunjung yang ingin melakukan ritual. Seperti
pengakuan dari Tomi, salah satu pengunjung dari kategori pertama yang berasal
dari Desa Tegalsari, mengatakan bahwa Tomi mendatangi tradisi Kliwonan karena
ingin berjalan-jalan dengan teman-temannya, menghilangkan kepenatan dengan
berekreasi di Kliwonan. Yang dilakukan tomi di tradisi Kliwonan hanya berjalanjalan
memutari alun-alun dan kemudian duduk-duduk di trotoar bersama temantemannya.
Pengunjung lainnya juga banyak yang berasal dari luar Kecamatan
Kabupaten Batang, yang kebanyakan adalah para muda-mudi. Namun ada juga
pengunjung yang datang karena memang sengaja ingin membeli sesuatu barang di
tradisi ini. Pengunjung yang tadinya iseng untuk berjalan-jalan tidak menutup
kemungkinan dia tertarik dengan sesuatu barang dan kemudian membelinya
(Wawancara Bpk Tommy, 26 Juni 2006, pkl 20.00 WIB).
Pelaku ritual ngalap berkah di tradisi Kliwonan adalah kebanyakan orangorang
yang memandikan anaknya di Masjid Agung Batang. Para pelaku ritual
biasanya berasal dari luar warga sekitar alun-alun Batang yang kebanyakan adalah
ibu-ibu yang mempunyai anak-anak kecil yang memang sedang sakit atau
dimandikan di Masjid tersebut hanya untuk kesehatan putra-putri para pelaku
ritual tersebut. Dan para pelaku ritual ini tidak hanya terfokus untuk malakukan
ritual saja tetapi juga melakukan aktifitas berjalan-jalan di pasar malam Kliwonan.
57
Terdapat perbedaan kegiatan dan aktifitas para pelaku tradisi, masyarakat
pendukung cenderung berbaur menjadi satu, tidak selalu hanya melakukan salah
satu kegiatan saja. Karena dalam tradisi ini tidak bersifat mengikat satu sama lain,
tetapi berfungsi sebagai hiburan dan pelaksanaan kepercayaan saja
(Koentjaraningrat, 1974: 6).
Masyarakat pendukung tradisi Kliwonan berikutnya adalah para pelaku
seniman-seniman yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mengisi acara
pertunjukan kesenian dalam tradisi Kliwonan. Para seniman dalam tradisi
kliwonan adalah orang-orang pilihan atau perwakilan dari semua kecamatan di
Kabupaten Batang. Para seniman memang tidak terjun langsung dalam acara yang
menganggap penting dalam Kliwonan yaitu pasar malam, namun secara tidak
langsung para seniman ikut maramaikan tradisi Kliwonan.
Pihak pemerintah setempat juga berperan penting dalam tradisi Kliwonan,
ataupun pihak tersebut tidak terjun langsung sebagai pengatur jalannya tradisi
Kliwonan. Pihak pemerintah yang bersangkutan dengan pelaksanaan tradisi
Kliwonan adalah KKP (Kantor Kebersihan dan Pertamanan) yang bekerja sama
dengan Polsek Batang yang menertibkan jalannya tradisi Kliwonan, pihak Kantor
Pariwisata yang menyelenggarakan pertunjukan kesenian, dan Bagian Humas
(Hubungan Masyarakat) yang bekerja sama dengan Radio Abirawa FM yang
menyelenggarakan pemutaran film serta sarana informasi.
Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan setiap bulannya relatif
tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk berjualan, khususnya
para pedagang yang tergolong besar. Adapun jumlah pedagang di pasar kliwonan
58
secara keseluruhan selama bulan Januari sampai dengan Agustus dapat dilihat
tabel:
Tabel 1: Jumlah Pedagang di Pasar Kliwonan.
Bulan Jumlah Pedagang
Januari 535
Pebruari 556
Maret 650
April 752
Mei -
Juni 660
Juli 872
Agustus 850
Sumber data: Data Dipenda bulan Januari-Agustus 2006.
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa jumlah pedagang mengalami
peningkatan pada bulan Juli dimana pedagang yang berjualan di pasar Kliwonan
mencapai 872 orang, jumlah tersebut termasuk pedagang besar dan pedagang
kecil.
Sedangkan jumlah pedagang pada bulan Januari terlihat paling sedikit
apabila dibandingkan dengan bulan-bulan berikutnya. Hal tersebut disebabkan
karena pada bulan Januari merupakan bulan pertama awal tahun yang identik
dengan banyaknya acara untuk menyambut tahun baru sehingga para pedagang
banyak yang memilih untuk berjualan di tempat asal mereka.
1. Umur Pedagang.
Informan terdiri dari 16 orang pedagang laki-laki maupun perempuan
dengan
usia berkisar antara 20 tahun sampai dengan 50 tahun.
Tabel 2: Umur Pedagang.
59
No Umur Jumlah Persentase
1. 17 – 21 tahun 2 12,5
2. 22 – 40 tahun 11 68,5
3. 41 – 60 tahun 3 18,75
Total 16 100
Sumber: Dari Penelitian diolah Bulan Juni 2006
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pedagang yang ada di Kliwonan
sebagian besar adalah orang dewasa yang berusia 22-40 tahun, baik laki-laki
ataupun perempuan yaitu sebesar 68,75%. Hal tersebut disebabkan karena pada
usia 22-40 tahun merupakan usia dimana seseorang berada pada usia produktif
yang memiliki kemampuan fisik, serta membutuhkan pekerjaan untuk membiayai
keluarga ataupun sekedar membantu menambah penghasilan keluarga.
Jumlah informan tersebut terbagi menjadi suatu kategori umum, yaitu yang
termasuk pedagang kecil. Pedagang besar mempunyai beberapa ciri-ciri, yaitu luas
tempat yang dikapling antara 5 sampai 15 m, sedangkan menggunakan jasa sewa
tratak (atap seng), mengurus ijin perpanjangan per tahun. Sedangkan ciri-ciri
pedagang kecil antara lain luas tempat yang dikapling antara 1 sampai 5 m, tidak
mengurus surat ijin perpanjangan, tidak menggunakan jasa tratak (atap seng).
Tabel 3: Kategori Pedagang Besar
No Jenis dagangan Jumlah
1. Pedagang pakaian 2 orang
2. Pedagang tanaman hias 2 orang
3. Pedagang sandal dan sepatu 1 orang
4. Pedagang tas 1 orang
5. Pedagang gitar 1 orang
6 Pedagang guci 1 orang
Total 8 orang
Sumber: Data diolah bulan Juni 2006.
Sedangkan yang termasuk dalam kategori pedagang kecil antara lain dapat
dilihat dalam tabel 4.
60
Tabel 4: Kategori pedagang Kecil
No Jenis dagangan Jumlah
1. Pedagang kacamata 1 orang
2. Pedagang sepatu dan sandal 1 orang
3. Pedagang makanan dan minuman 4 orang
4. Pedagang kaos kaki 1 orang
5. Pedagang pernak-pernik 1 orang
Total 8 orang
Sumber: Data diolah Bulan Juni 2006
Data tersebut dapat dilihat bahwa pedagang yang ada di Kliwonan, baik
yang termasuk dalam kategori besar ataupun kecil sangat beragam. Ada yang
berjualan makanan dan minuman, peralatan rumah tangga, pakaian, tanaman hias,
dan masih banyak lagi. Harganya pun sangat bervariasi, mulai dari minuman
ringan atau pernak-pernik yang harganya seribu rupiah sampai tanaman hias atau
guci antik yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah.
2. Tempat asal pedagang
Data yang diperoleh saat penelitian, pedagang berasal dari luar daerah dan
sebagian besar justru berasal dari luar daerah Batang, seperti dari Kabupaten
Pekalongan, Pemalang, Tegal, Semarang, Bandungan, Solo, bahkan menurut
pengakuan responden ada yang berasal dari kota Padang. Para pedagang pada
umumnya sudah lama berjualan di pasar Kliwonan yaitu antara 1 sampai 10 tahun.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan informan, pedagang yang
berjualan di pasar Kliwonan bukan merupakan pedagang musiman karena selain
berjualan di pasar Kliwonan mereka juga berjualan di tempat asal mereka. Hal
tersebut sesuai dengan penuturan Zaenal, pedagang gitar dari Semarang yang
berjualan di pasar Kliwonan.
61
“Kalau hari-hari biasa, saya jualan di pasar Johar. Jadi walaupun nggak
ada Kliwonan saya tetap jualan”. Wawancara Kamis 22 Juni 2006 (16.45 WIB)
Tabel 5: Daerah Asal Pedagang
No Daerah asal Jumlah Persentase
1. Batang 3 18,75
2. Kabupaten Pekalongan 5 31,25
3. Tegal 2 12,5
4. Semarang 4 2,5
5. Solo 1 6,25
6. Pemalang 1 6,25
Total 16 100
Sumber: Data Penelitian diolah bulan Juni 2006
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar para
pedagang yang berjualan di pasar Kliwonan berasal dari luar daerah Batang, yaitu
sebesar 31,25% berasal dari Pekalongan. Akan tetapi walaupun tempat tinggal
mereka jaraknya cukup jauh, namun para pedagang tidak memiliki tempat kost di
Batang. Pada umumnya pedagang hanya berjualan pada saat Kliwonan, yaitu pada
hari Kamis, yaitu pada hari Kamis sore sampai tengah malam. Mereka banyak
yang memilih untuk nglaju, atau apabila mereka harus menginap, maka mereka
lebih memilih untuk bermalam di alun-alun sambil menunggu kendaraan yang
akan mengangkut barang-banang dagangan mereka. Seperti yang diungkapkan
oleh pedagang Rifa’i, salah satu pedagang yang berasal dari Sampangan,
Pekalongan.
“Tadi berangkat dari rumah sekitar jam 10 pagi, biasanya jualan hanya
sampai jam 10 malam, setelah itu langsung pulang rumah. Masalahnya kalau
sudah lebih jam 10 malam pengunjungnya sudah sepi. Tapi ada juga pedagang
yang sampai pagi disini”. Wawancara Kamis, 22 Juni 2006 (14.00 WIB).
62
3. Tingkat Pendidikan Pedagang
Tingkat pendidikan para pedagang sangat bervariasi. Gambaran secara
rinci tentang tingkat pendidikan pedagang dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6: Tingkat Pendidikan Pedagang
No Pendidikan Jumlah Persentase
1 Tidak pernah sekolah 3 18,75
2 Lulus SD 6 37,5
3 Lulus SMP 2 12,5
4 Lulus SMA 3 18,75
5 Sarjana 2 12,5
Total 16 100
Sumber: Data Penelitian diolah bulan Agustus 2006
Tabel 6 dapat diperoleh kesimpulan bahwa tingkat pendidikan pedagang
Kliwonan sebagian besar adalah lulusan Sekolah Dasar yaitu sebanyak 37,5%. Hal
tersebut menunjukkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini yang
disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan dimana semakin banyaknya orang
yang membutuhkan pekerjaan, sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia justru
semakin sedikit. Akibatnya orang yang tidak mempunyai keahlian khusus serta
tingkat pendidikan rendah akan tersingkir dengan sendirinya.
4. Umur Pengunjung
Pengunjung yang dijadikan informan dalam penelitian ini sebanyak 10
orang baik laki-laki maupun perempuan dengan umur yang bervariasi, yaitu terdiri
dari anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.
Tabel 7: Umur Pengunjung
No Umur Jumlah Persentase
1 < 17 tahun 2 20
63
2 17 – 21 tahun 4 40
3 22 – 40 tahun 3 30
4 41 – 60 tahun 1 10
Total 10 100
Sumber: Data Penelitian diolah bulan Agustus 2006
Tabel 7 diperoleh kesimpulan bahwa pengunjung yang datang ke Kliwonan
sebagian besar adalah remaja yang berusia antara 17 sampai 21 tahun yaitu
sebanyak 40%. Kliwonan merupakan tempat alternatif bagi masyarakat yang
membutuhkan hiburan, selain dapat berbelanja barang-barang yang harganya
relatif murah, pengunjung juga dapat menikmati hiburan lain yang ada di
Kliwonan. Sehingga tidak heran apabila banyak anak-anak remaja yang sengaja
datang untuk sekedar berjalan-jalan atau refresing.
E. Peran masyarakat dalam mengembangkan tradisi Kliwonan
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh
suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990:146). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang terorganisasi,
yang hidup dan bekerja sama, yang berinteraksi dalam mencapai tujuan bersama
(Joyomartono. 1991:12).
Definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan
sekumpulan individu yang mempunyai tujuan bersama dalam satu wilayah tertentu
yang saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama dengan aturan-aturan
atau norma-norma
64
yang dipatuhi bersama serta menghasilkan suatu kebudayaan.
Masyarakat adalah sejumlah manusia yang hidup berkelompok-kelompok
atau bergolong-golongan yang dengan sendirinya saling berhubungan dan saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Keadaan tersebut terjadi baik antara
perorangan, antara golongan atau antara perorangan dengan golongan.
Masyarakat mencakup beberapa unsur sebagai berikut :
1. Manusia yang hidup bersama.
2. Bercampur untuk jangka waktu yang cukup lama. Sebagai akibat hidup
bersama itu timbullah sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan (Soekanto,
2002:24)
Unsur-unsur tersebut merupakan suatu sistem kehidupan bersama dan
menimbulkan kebudayaan, karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat
satu dengan lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri secara berkelanjutan dan
manusia baru dapat disebut sebagai manusia yang sempurna apabila dapat hidup
bersama dengan manusia lain dalam masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa
hidup bermasyarakat adalah mutlak bagi manusia supaya dapat menjadi manusia
dalam arti yang sesungguhnya, yakni sebagai human being, orang atau oknum,
bukan sekedar dalam pengertian biologis tetapi benar-benar dapat berfungsi
sebagai manusia yang mampu bermasyarakat dan berbudaya (Abdulsyani,
1994:33).
Setiap manusia senantiasa mengalami perubahan, perubahan tersebut
terjadi sebagai akibat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri yang semakin
65
kompleks. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma
sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan
dalam masyrakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain
sebagainya.
Tradisi Kliwonan yang ada di Kota batang muncul sejak dulu seiring
dengan perkembangan daerah Batang. Walaupun telah ada beberapa perubahan
dalam hal kegiatan yang dilaksanakan dalam tradisi Kliwonan, namun tradisi ini
mampu bertahan hingga sekarang dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
pendukungnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini tetapi dipegang teguh
oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini tetap
dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya, sehingga tradisi tersebut mampu
mempertahankan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat seiring
perkembangan jaman.
Bertahannya suatu tradisi dalam suatu masyarakat tidaklah mudah, karena
dalam suatu masyarakat pasti akan muncul peradapan baru, karena adanya suatu
perubahan sosial budaya masyarakat tersebut. Kebudayaan tidak mungkin lestari,
kalau tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu masyarakat
pendukungnya.
Kebudayaan harus mampu memproduksi dan mendistribusikan barangbarang
dan jasa, yang dipandang perlu dalam hidup. Kebudayaan harus menjamin
kelestarian biologis, dengan cara memproduksikan anggota-anggotanya. Para
anggota yang baru harus dienkulturasikan sehingga dapat berperilaku sebagai
orang dewasa. Kebudayaan harus memelihara ketertiban diantara para anggotanya
66
dan orang luar. Akhirnya kebudayaan harus memberi motifasi kepada para
anggotanya untuk
bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan
hidup itu (Haviland, 1999: 351).
Seperti halnya dengan salah satu kebudayaan di Batang yaitu tradisi
Kebudayaan Kliwonan yang masih tetap bertahan hingga sekarang walaupun
sudah terdapat banyak perubahan dalam bentuk dan aktifitasnya. Semua
kebudayaan berubah sebagai tanggapan atas berbagai hal seperti masuknya orang
luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam kebudayaan.
Begitu pula dengan tradisi Kliwonan, yang mendapatkan perubahan dalam
berbagai sisi, namun mampu mempertahankan keberadaannya walaupun bersaing
dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang mulai bermunculan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bertahannya suatu tradisi adalah
faktor ekonomi dan sosial. Dalam faktor ekonomi sudah dapat kita ketahui bahwa
terdapat keuntungan yang didapat dari pelaksanaan tradisi. Pada tradisi ini terdapat
pasar malam memiliki keuntungan berupa pemasukan daerah Kabupaten Batang,
pemuasan bagi penjual dan pembeli di Kliwonan dan kekayaan budaya di daerah
Batang. Secara tidak langsung, masyarakat pendukung Kliwonan selalu berusaha
untuk mempertahankan tradisi ini dengan selalu melaksanakan tradisi Kliwonan
tanpa adanya pemaksaan tetapi karena adanya kebutuhan. Dalam faktor sosial,
terdapat interaksi antar anggota masyarakat pendukung tradisi, yang di dalamnya
terdapat sosialisasi yang dilakukan oleh orang-orang dewasa kepada para anggota
baru terhadap tradisi Kliwonan. Geertz (dalam Poerwanto 2000:142) menegaskan
bahwa perbedaan antara kultur dan sistem sosial berarti memperlakukan kultur
67
sebagai sistem makna dan simbol yang terorganisasi yang menjadi dasar interkasi
sosial, dan
memandang sistem sosial sebagai pola-pola interksi sosial itu sendiri.
Suatu perubahan sosial dan budaya akan berakibat menguntungkan dan
merugikan. Suatu perubahan yang terjadi mengharuskan perlunya memodifikasi
pola tingkah laku. Begitu pula dengan tradisi Kliwonan, yang cenderung
memberikan keuntungan bagi semua pihak, yang akhirnya memberikan tradisi
Kliwonan kekuatan untuk terus bertahan. Jadi tradisi ini dapat bertahan hingga
sekarang dikarenakan oleh masyarakat pendukungnya yang tetap untuk selalu
melaksanakannya karena kebutuhan akan tradisi itu sendiri.
F. Tata cara dalam pelaksanaan tradisi Kliwonan
Dalam melaksanakan tradisi ini tidak terdapat persiapan-persiapan yang
khusus bagi masyarakat pendukungnya. Hal itu karena tradisi ini merupakan
sebuah pasar, maka dalam melakukan tradisi persiapan hanya dilakukan oleh para
pedagang dan tim pertunjukan kesenian.
Para pedagang biasanya mulai menjajakan barang dagangannya pada hari
Kamis siang hari. Namun terdapat diantara para pedagang ada yang sudah
menempati tempat berdagang dan memasang tenda-tenda untuk barang
dagangannya sebelum hari Kamis Wage, diantaranya yaitu para pedagang yang
berasal dari luar daerah Batang. Seorang pedagang tanaman hias dan bunga dari
Tegal yang bernama Bapak Slamet mengaku bahwa barang dagangannya pada hari
Kamis dan setiap pada pukul 06.00 WIB. Beliau langsung berangkat dari tegal
68
menuju kota Batang dengan membawa barang dagangannya dan langsung
melayani pembeli pada pagi hari itu juga jika memang ada. Kemudian para
pedagang yang berasal dari Pekalongan
menuturkan “Kami datang berombongan pada hari Rabu Pon malam untuk
meletakkan dagangan (pakaian bekas/impor), kemudian barang-barang tersebut
dijadikan satu kemudian kami tinggal. Besoknya kami kesini untuk mulai
berjualan pada pagi harinya, sekitar pukul 07.00 WIB” (hasil wawancara dengan
Usman, dkk).
Seperti halnya persiapan tradisi Kliwonan, dalam tradisi Kliwonan tidak
terdapat peralatan yang dipersiapkan secara khusus masyarakat pendukungnya,
karena dalam tradisi ini bersifat individual yaitu menyangkut kepentingan masingmasing
individu yang ingin melaksanakan tradisi Kliwonan. Contohnya para
pengunjung Kliwonan yang hanya memerlukan pakaian yang pantas dan uang
secukupnya untuk berjalan-jalan di alun-alun. Para pedagang di pasar malam
Kliwonan hanya perlu mempersiapkan peralatan untuk keperluan berdagang,
seperti barang yang akan diperdagangkan, tenda untuk tempat berjualan jika ada,
dan lain-lain. ibu-ibu yang melakukan ritual memandikan anaknya di masjid pun
memerlukan peralatan yang spesifik. Para ibu tersebut hanya membawa pakaian
ganti untuk anaknya yang akan dimandikan, karena biasanya pakaian anak yang
baru dimandikan akan dibuang di bawah pohon beringin di alun-alun, namun ada
juga yang tidak dibuang.
Alasan ibu-ibu membawa anak-anak untuk dimandikan dengan air di
masjid terebut sangat beragam, diantaranya adalah:
69
1. Karena ingin meyembuhkan penyakit yang diderita oleh anaknya,
2. Mempercepat pertumbuhan motorik sang anak (berbicara, berjalan, dan
lain-lain), dan
3. Menghindarkan si anak dari segala penyakit, karena anak kecil biasanya
rawan terserang penyakit (hasil wawancara dengan ibu Wiwik).
Tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa maksud dilaksanakannya ritual
mandi adalah sebagai sarana pengobatan. Ibu Wiwik mengaku bahwa melakukan
ritual tersebut semenjak putranya lahir di setiap tradisi Kliwonan berlangsung dan
jika tidak berhalangan. Ibu Wiwik mengetahui ritual tersebut dari para orang tua
karena hal tersebut sudah menjadi kabiasaan yang turun-temurun dan banyak
orang yang mempercayainya. Dan tidak terdapat doa-doa tertentu ketika
mengiringi upacara ritual tersebut, yang dilakukan hanya mengucapkan niat
menurut kepercayaan masing-masing orang yaitu anak mencari berkah dan
penyembuhan penyakit agar diridhoi Allah SWT.
Penyelenggaraan tradisi Kliwonan pada masa sekarang maupun jaman
dahulu menjadi suatu kesepakatan bersama yang tidak tertulis, yang dilaksanakan
setiap 35 hari di malam Jumat Kliwon pada penanggalan Jawa. Tradisi ini
merupakan upacara yang bersifat individual, dalam perlaksanaan tradisi baik pasar
malam maupun ritual tergantung dari masing-masing individu dan tidak ada yang
mengkoordinasi. Hanya dalam penentuan tempat berjualan saja yang dikoordinasi
oleh pemerintah daerah. Masyarakat sudah tahu kapan tradisi Kliwonan akan
dilaksanakan tanpa disuruh dan diatur, dan dengan sendirinya pada hari Kamis
Wage sore sampai malam harinya masyarakat pendukung tradisi mulai
70
berbondong-bondong mendatangi alun-alun Batang untuk meramaikan tradisi
tersebut. Seperti penuturan Bapak Bambang bahwa dengan sendirinya ia akan
selalu berdagang di alun-alun kota Batang pada saat tradisi Kliwonan, dan
merupakan salah satu ajang keramaian yang dinanti-nantikan oleh para pedagang.
Telah dikemukakan diatas bahwa tidak terdapat koordinasi secara tertulis
maupun ketetapan dalam pelaksaan tradisi Kliwonan, karena setiap individu
datang dengan maksud dan tujuan sendiri, namun terdapat kesepakatan bersama
yang tidak tertulis bahwa setiap masyarakat pendukung akan melaksanakan ritual
pada hari Kamis Wage sampai malam Jumat Kliwon. Tindakan para pelaku ritual
berjalan dengan sendirinya dan apa yang disebut pimpinan upacara tidak terdapat
di sini, karena para pelaku ritual melakukan ritual tradisi dengan kepercayaan
masing-masing. Hal ini menjadi keunikan, karena dalam upacara Kejawen selalu
mengutamakan doa-doa yang sangat rumit, sesaji dan ada orang yang memimpin
jalannya upacara. Namun dalam pelaksaan ritual ngalap berkah tradisi Kliwonan di
kota Batang tidak mementingkan hal-hal tersebut. Doa yang mengiringi
pelaksanaan ritual ngalap berkah menyesuaikan niat dan kepercayaan masingmasing
pelaku ritual, tidak ada sesaji yang khusus dana kalaupun ada, tidak
menjadi suatu hal yang mencolok, dan jika ada pemimpin upacara hanya
memimpin untuk kalangan keluarga masing-masing pelaku ritual ngalap berkah.
Tradisi Kliwonan semula dengan ritual-ritual yang dilakukan oleh
masyarakat pendukungnya dalam rangka untuk mendapatkan berkah. Kegiatan
yang dilakukan di antaranya adalah guling-guling badan dan mandi, tirakatan,
sawer. Selain ritual tersebut kegiatan lainnya adalah mencari jodoh bagi muda71
mudi, perjualan untuk mencari berkah, atau hanya sekedar berjalan-jalan dan
melihat-lihat keramaian di alun-alun. Pengunjung tradisi Kliwonan datang pada
hari Kamis Wage sore di alun-alun, di mana para pengunjung mempunyai maksud
tertentu sesuai dengan tujuannya.
Upacara ritual gulingan dilakukan di sekitar alun-alun Batang tepatnya
dilakukan di rerumputan sekitar pohon beringin. Ritual gulingan ini biasanya
diberlakukan untuk anak-anak kecil dan dilakukan sekitar 3 menit. Menurut
penuturan Bapak Niti Susanto selaku pegawai Pariwisata menuturkan bahwa
dalam menggulingkan anak-anak tersebut terdapat berbagai variasi. Dalam
pelaksanaannya ada orang tua yang menambahi ritual dengan mengusap-usap dahi
anaknya, kemudian ada yang menendang-nendangkan kaki anaknya di rerumputan
serta masih banyak variasi lain menurut kepercayan masing-masing orang yang
melakukan ritual.
Makna berguling badan di rerumputan dapat diartikan bahwa agar pelaku
ritual dapat ikut merasakan pahit getirnya orang yang serba kekurangan dan
menghayati bahwa dalam meraih sesuatu itu membutuhkan pengorbanan. Setelah
mengguling-gulingkan anaknya di rerumputan kemudian si anak dibawa ke masjid
untuk dimandikan di tempat wudlu sebelah utara atau bagian laki-laki. Seperti
yang pernah diungkapkan bahwa tempat wudlu tersebut, airnya dipercaya
mengandung berkah dan dapat menyembuhkan penyakit serta menghindari
musibah, karena diambil dari sebelah makam Sunan Sendang. Di Masjid Agung
ini ada anak-anak yang dimandikan, dan ada yang hanya dibasuh mukanya saja.
Setelah acara memandikan tersebut kemudian orang tua beserta sang anak kembali
72
ke alun-alun untuk membuang bekas pakaian yang tadi telah dipakai anak sewaktu
diguling-gulingkan di rerumputan. Makna dari membuang pakaian ini adalah
mengenai sosial ekonomis masyarakat untuk menyantuni orang-orang yang
kekurangan. Terkadang dalam membuang pakaian tersebut disertai dengan
membagi-bagikan makanan kecil. Biasanya juga ada sebagian masyarakat
pendukung tradisi yang membagi-bagikan uang logam kepada anak-anak kecil
atau orang yang kekurangan di sekitar komplek Masjid Agung. Namun sekarang
sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan sodaqoh di kotak amal di depan Masjid
Agung.
Tirakatan biasanya dilakukan oleh orang-orang dewasa pada malam hari
kadang-kadang sampai pada pagi harinya. Kegiatan yang dilakukan para pelaku
ritual tersebut akhirnya mengandung penasaran masyarakat sekitar untuk
menonton dan menyaksikan acara tersebut, sehingga ramailah suasana di malam
Jumat Kliwon itu. Para muda-mudi selain berjalan-jalan terkadang menggunakan
kesempatan untuk mencari jodoh. Keramaian malam di alun-alun itu kemudian
mengundang para penjual makanan untuk dagang dan berjualan di sana. Yang
merupakan makanan khas pada saat Kliwonan adalah makanan Gemblong-Klepon.
Gemblong berwarna putih yang terbuat dari ketan dan diiris kotak-kotak besar.
Sedangkan Klepon berbentuk bulat-bulat kecil berwarna hijau yang terbuat dari
beras ketan serta terdapat cairan gula jawa di dalamnya. Gemblong-Ketan
disajikan dengan sedikit kuah santan dan siraman cairan gula jawa.
Penjual makanan Gemblong-Klepon telah ada dari jaman dahulu hingga
tradisi Kliwonan yang sekarang. Konon katanya menurut Bapak Basuki bahwa
73
makanan Gemblong-Klepon tersebut akan memberikan berkah kepada orang yang
memakannya. Bagi pedagang terdapat kepercayaan bahwa jika berdagang di
Kliwonan tersebut maka barang-barang yang ia jual akan laku keras. Andaikata
tidak laku di Kliwonan, maka terdapat kepercayaan bahwa di lain hari selama 35
hari barang dagangannya akan laku keras.
Pada tradisi kliwonan pada jaman dahulu juga terdapat pengajian dan
dakwah di Masjid Agung. Seperti penuturan bapak Basuki bahwa pada tradisi
Kliwonan pada jaman dahulu mempunyai maksud dan tujuan, yaitu:
1. Untuk menghormati para pendahulu Batang (Bahurekso dan lain-lain),
2. Kejawen (Sarana Pengobatan), dan
3. Dakwah serta pengajian.
Dalam melaksanakan tradisi Kliwonan tidak terdapat larangan atau
pantangan yang begitu berarti. Namun terdapat kepercayan bahwa bagi orangorang
yang telah menjalankan ritual guling badan dan mandi harus membuang
pakaian yang tadi telah dipakainya, karena jika hal tersebut tidak dilakukan maka
permohonannya tidak akan terkabul. Tetap kepercayaan yang demikian agaknya
sudah tidak berlaku lagi, walaupun masih ada sebagian yang tetap
melaksanakannya.
Dalam upacara ritual tidak terdapat penutupan secara resmi, karena dalam
tradisi ini bersifat individual. Jadi jika ada orang-orang yang sudah melaksanakan
tradisi tersebut, maka dengan sendirinya ia akan meninggalkan alun-alun Batang.
Jika waktu sudah menunjukkan larut malam para pengunjung pun mulai pulang.
74
Seperti halnya penyelenggaraan tradisi Kliwonan pada masa dahulu saat
sekarang ini tradisi Kliwonan juga tidak terdapat ketetapan secara tertulis tentang
penyelenggaraannya. Semuanya sepakat dan tahu bahawa pada hari Kamis Wage
sore sampai malam hari akan diselenggarakan pasar malam Jumat Kliwonan. Jadi
dengan sendirinya para pedagang mulai akan memasang tenda untuk tempat
berdagang dan mulai menata barang dagangannya sebelum hari Kamis Wage sore,
yaitu ada yang pagi hari, malam hari sebelum hari Kamis Wage sore, yaitu ada
yang pagi hari, malam hari sebelum hari Kamis Wage bahkan 2 atau 3 hari yang
dalam hal ini berperan sebagai pengunjung Kliwonan mulai berdatangan dari hari
Kamis Wage sore sampai malam harinya, dan ada pula terdapat pengunjung yang
mulai berjalan-jalan pada siang hari.
Pada tradisi Kliwonan tidak terdapat peraturan kapan dimulainya
pelaksanaan tradisi tersebut. Jadi tradisi ini bisa dilakukan setiap saat pada hari
Kamis Wage tersebut sampai malam harinya. Biasanya alun-alun mulai dipadati
oleh pengunjung pada waktu sore hari yaitu pukul 16.30 WIB. Seiring waktu,
selain ramai dan padatlah alun-alun oleh para pengunjung yang berdatangan.
Para pedagang mulai menata dagangannya pada siang hari. Bahkan ada
pedagang yang mulai berdagang dari pagi hari seperti penjual tanaman hias dan
pedagang pakaian impor. Hasil pengamatan pada pagi hari pukul 06.00 WIB sudah
terdapat pengunjung yang biasanya sedang berjalan-jalan di pagi hari di alun-alun
karena hal itu merupakan kebiasaan masyarakat Batang pada pagi hari, kemudian
tertarik untuk melihat-lihat tanaman hias yang dijual. Satu persatu kemudian para
pedagang mulai mempersiapkan tempat berdagang dan menata barang
75
dagangannya, yang kemudian menarik perhatian orang-orang di sekitar alun-alun
untuk sekedar melihat-lihat persiapan tradisi Kliwonan yang masih berupa
kerangka pasar malam. Orang-orang yang sedang berjalan-jalan tersebut melihatlihat
dan jika ada barang yang diminatinya maka akan dibeli dengan harapan
harganya lebih murah karena pasar malam Kliwonan belum begitu ramai.
Pada pukul 16.00 WIB para pengunjung mulai berdatangan dan sekitar
pukul 16.30 WIB seperti menjadi awal keramaian dari tradisi Kliwonan.
Pengunjung mulai berdatangan berbagai kecamatan di Batang bahkan ada yang
datang dari kota Pekalongan. Pengunjung yang terdiri dari anak-anak muda
biasanya mulai terlihat pada malam hari. Pada sore hari biasanya terlihat orangorang
dewasa yang memang ada keperluan untuk membeli sesuatu. Pengunjung
yang berasal dari luar kecamatan Batang khususnya berjarak jauh dari Kota Batang
biasanya mengunakan jasa mobil sewaan (carteran) untuk mengangkut para
pengunjung dari rumahnya hingga alun-alun Batang. Mereka datang berombongan
baik anak muda maupun dewasa. Sedangkan pengunjung yang menggunakan jasa
angkutan umum dapat menikmati jasa tersbut hingga sampai malam hari, karena
pada hari biasanya kecuali malam Jumat Kliwon, angkutan pedesaan dan antar
kecamatan beroperasi sampai pukul 18.00 WIB.
Hubungan tradisi Kliwonan dengan tradisi Jumat Kliwon di sungai Kramat
yaitu merupakan serangkaian dari Malam Jumat Kliwon atau Kliwon. Jika tradisi
Kliwonan di laksanakan di alun-alun maka tradisi Kliwon dilaksanakan di sungai
Kramat. Tradisi Malam Jumat Kliwon dan tradisi Jumat Kliwon dikatakan suatu
rangkaian karena keduanya sama-sama dilakukan sebagai sarana pengobatan dan
76
juga untuk mengenang para leluhur masyarakat Batang. Seperti dikisahkan di
muka bahwa jaman dahulu Bahurekso pernah bersemedi di sungai Kramat pada
hari Jumat Kliwon. Dan ternyata hari itu dianggap mempunyai kekuatan mistis
begitu pula dengan sungai Kramat yang dipercaya dapat memberikan kekuatan
kepada Bahurekso. Bapak Basuki, berpendapat bahwa Jumat Kliwon bagi umat
Islam dianggap sebagai hari besar, hari yang dikeramatkan dan sebagai waktu
yang baik untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih.
Semula maksud diadakannya tradisi Jumat Kliwon adalah untuk
mengenang dan menghayati nilai-nilai perjuangan para pendiri kota kabupaten
Batang, serta mengikuti keteladanan dari para tokoh panutan yang telah
meninggal, dan lokasi makamnya dipercaya banyak terdapat di sekitar sungai
Kramat ini. Kemudian selain untuk mengenang para leluhur, masyarakat
pendukung juga melakukan ritual ngalap berkah untuk sarana pencarian jodoh atau
sarana pengobatan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tua pada jaman dahulu pada
hari Jumat Kliwon di sungai Kramat adalah mandi sambil memohon berkah agar
dikabulkan permintaannya dan permohonan yang sering dilakukan adalah meminta
jodoh. Pangeran Mandurorejo (bupati pertama terhitung dari tahun 1614) memberi
semacam sugesti, yaitu para peziarah yang mau pergi ke sungai Kramat dan
sekurang-kurangnya membasuh muka dengan air sungai tersebut, maka dia akan
cepak rejeki (mendapatkan banyak rejeki) dan hilang sebel (hilang sial) selama
selapan dina (35 hari). Berkenan dengan kepercayaan tersebut, maka peziarah dari
waktu ke waktu kian bertambah.
77
Tradisi Jumat Kliwon dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon. Bertolak
dengan kenyataan bahwa banyak orang yang mengunjungi sungai Kramat tersebut
dan lokasi di sekitarnya menjadi tempat pariwisata. Tradisi Kliwonan di alun-alun
tradisi Jumat Kliwon sekarang juga sudah berubah dalam pelaksaannya. Sekarang
yang terdapat di sana hanyalah pertunjukan dangdut yang diadakan di panggung
pertunjukan di dalam objek wisata kramat dengan para penonton yang kebanyakan
para muda-mudi dari desa. Jadi yang terlihat sekarang adalah cenderung tradisi
yang bersifat hura-hura daripada kegiatan yang bersifat mistis yang pernah
dilaksanakan pada jaman dahulu. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh pola pikir
masyarakat Batang yang cenderung modern. Diharapkan dengan adanya tradisi
tersebut selain dapat melestarikan nilai-nilai perjuangan para leluhur, juga dapat
menambah pendapatan Pemda Kabupaten Batang serta kesejahteraan masyarakat
pendukungnya.

Baca Artikel lainya:

0 comments:

Posting Komentar