Tweet |
Film Hati Merdeka (Merah Putih 3) adalah
film yang bertemakan peperangan dengan unsur nasionalisme. Agak sulit
sebenarnya menilai film ini, saya sadar akan di cerca dengan mengabaikan
unsur tujuan dari film ini yaitu menumbuhkan nasionalisme. Saya cukup
yakin bahwa film ini bakal mendapat good review dari beberapa kalangan.
Percaya atau tidak? kita lihat nanti. Saya hanya ingin membahas film ini
dari segi yang saya sudah tetapkan dari awal. Saya akan pure
menggunakan penilaian selera saya terhadap film ini. Yang artinya, saya
tidak akan ada unsur mengkasihani, membandingkan dengan film-film hantu,
bahkan menjunjung tinggi nilai nasionalismenya. Saya akui, film ini
sarat dengan nilai nasionalisme. Sayang dari segi lainnya? LUPAKAN SAJA.
Jadi, bagi yang menganggap film ini bagus, saya rasa anda tidak perlu
melanjutkan membaca tulisan saya tentang film ini karena saya tidak
berniat untuk menepuktangani melainkan menamparinya.
Lupakan cerita sebelumnya, yah serius,
lupakan apa yang terjadi sama film sebelumnya. Anda tak perlu takut
bahwa anda akan ketinggalan cerita atau merasa gak akan nyambung sama
film ketiga kalau belum menonton yang pertama atau kedua. Saya pribadi
belum menonton yang pertamanya dan merasa tidak kesulitan untuk
mengenali keseluruhan cerita di film ketiga Merah Putih. Seperti saya
bilang, lupakan apa yang disuguhkan film ini dalam segi cerita. Cerita
utama di film ini singkat yaitu membunuh kolonel Raymer. Dah cuman
segitu, sisanya baru ditempelin cerita tambahan seperti drama romantis,
dilema seorang kapten, kecemburuan dan hal gak penting lainnya. Kenapa
tidak penting? yah karena adegan-adegan tersebut tidak ada hubungannya
dan tidak mempengaruhi cerita utamanya. Awalnya saya kira kisah tempelan
itu bakal mempengaruhi cerita utamanya, eh tahu-tahunya tidak sama
sekali. Kecewa? tentu jelas. Dengan cerita super biasa ditambah
adegan-adegan gak penting membuat film ini semakin hambar dan
membosankan. Belum lagi karena kekonyolan ceritanya bahkan sempat saya
tertawai juga adegannya. Yang niatnya mau drama, jatuhnya ke komedi. Ah,
gagal.
Oke, maju ke bagian dialog atau
naskahnya. Yang membuat saya terganggu adalah gaya bahasanya. Yah, gaya
bahasanya. Entah kenapa, rasanya agak aneh. Tapi, yang membuat saya
kecewa bukan gaya bahasanya melainkan dialognya yang begitu mini dan
terang-terangan. Semisal, saat SPOILER ALERT! Amir
(Lukman Sardi) menolak untuk ikut ke misinya. Dengan singkat, dia hanya
bilang tidak. Tidak ada adu mulut yang terjadi, yang ada malah adu mulut
sama yang bisu. Dari adegan tersebut, saya bisa saja menyimpulkan bahwa
penulis begitu malas membuat dialog di film ini. Yang ada, adegan
dengan dialog sedikit dan lebih banyak adegan tak bersuara yang begitu
lama durasinya. Ohh, membosankan. Tapi, penulis mengakali keterbatasan
dialog di film ini dengan menempeli adegan nasionalisme (entah dalam
bentuk dialog ataupun tidak. Tapi kayaknya dalam bentuk non-verbal. Kan
dah ketahuan malasnya penulis). Untuk adegan aksinya, Yah, tidak ada
bedanya dengan yang kedua, sangat tidak masuk akal dan berlebih-lebihan.
Saya ambil yang bagian terakhirnya ajah deh. Awalnya dikepung sama
tentara Raymer, eh tiba-tiba dalam sekejap dan tanpa jelas, keadaan
berbalik dengan cepat dan dengan konyol. Sudah terekspos dilapangan tapi
tidak ketembak-ketembak. Yah, anggap ajah beruntung. Ada lagi adegan
yang mengawali tertawaan saya, yaitu adegan dimana kelompok Amir kabur
dari tempat klub (atau apalah namanya. hehe). Apa coba yang konyol?
kabur kok lewat arah depan, yah lewat belakang dong kalau gak mau
ditembak. Benar-benar sengaja untuk diekspos (lewat depan musuh). Saya
melihat hal itu sebagai adegan yang benar-benar kaya dengan
nasionalisme. Maksudnya adalah, entah apapun resikonya, sang pahlawan
tetap maju kedepan. Yah, menurut saya itu sangat tidak masuk akal dan
berlebihan. terlebih lagi gak ada yang ketembak-tembak. hahaha. :)
Overall, film ini sangat berkualitas
dari segi audio dan visual. Tapi, dari segi cerita dan naskah, boooo.
Mungkin alasan yang anda bisa pakai untuk menonton film ini hanya unsur
nasionalismenya. Film ini gagal di segi cerita dan naskah. Sangat
disayangkan sekali bukan?. Saya menonton film ini In Digital (D-Cinema),
yang benar-benar memanjakan mata. Gambar jernih, terang. Pokoknya TOP
deh visual dan audionya. Setidaknya dengan visual seperti itu, film ini
layak ditonton di bioskop. Akhir kata, saya memang memuja visual dan
audionya, tapi saya tidak punya rasa ampun di cerita dan naskah. Dan
untuk ukuran film penutup trilogi, film ini gagal menyuguhkan konklusi
dari kedua seri sebelumnya. BOOO!
0 comments:
Posting Komentar