Minggu, 13 November 2011

CERPEN - KASIH IBU



Sebuah cerpen yang menggambarkan tentang kasih ibu dan anak. Alur cerita yang menarik, dan suguhan konflik yang sederhana tapi bermakna sangat dalam. Cerpen tentan kasih ibu ini layak dibaca.

  “Ampun! Ampun! Sakit!” jerit seseorang di dalam rumah.
“Tidak tahu untung! Anak tidak berguna! Heeeeh rasakan!” maki wanita dalam rumah itu.
“Ampun, Mak! Ampun!” jerit anak itu.
“Awas kalau kau berani permalukan Mak lagi!” wanita itu akhirnya mereda.



***

Layang-layang merah itu terbang tinggi. Begitu gagahnya seolah-olah ingin menyombongkan diri. Sore mulai terlihat kemerah-merahan namun angin masih bertiup lembut. Sesekali Bima menyeka peluh yang mengalir di dahinya dengan tangan. Kulitnya yang legam tampak mengkilat dengan keringat di sekujur tubuhnya. Tiada kesenangan yang pernah Bima rasakan selain bermain layang-layang bersama teman-temannya. Sepulang sekolah, selepas membantu ibunya menjual makanan bagi para buruh bangunan di ujung jalan kampungnya, Bima menyempatkan diri untuk bermain layang-layang. Ibunya hanya seorang buruh cuci di kompleks perumahan elit di sebelah kampungnya.


Hari mulai gelap. Bima dan teman-temannya beranjak pulang.



PLAAK!!
Tamparan itu tepat mendarat di muka Bima. Ia meringis kesakitan. Entah untuk keberapa kalinya ia menerima tamparan dari Mak, ibunya sendiri.
“Anak kurang ajar! Mengapa jam segini baru pulang, hah?” maki Mak.
Senja itu Bima memang pulang agak larut. Ia membantu temannya mengambil layang-layang yang tersangkut di pohon.
“Ampun, Mak! Ampun! Bima janji tidak akan mengulanginya lagi,” ujar Bima sambil meringis.
Mak menjambak rambut Bima dan menyeretnya duduk di kursi tua rumah gubuk itu. Mak tak mempedulikan Bima yang berteriak kesakitan. Hari itu Bima kembali dihukum oleh Mak. Sapu lidi itu diangkatnya tinggi-tinggi dan dihantamkannya ke badan Bima berkali-kali.



Kasih ibu…
***

Bapak.
Sosok itu tidak begitu dikenal Bima. Bapak sudah mati. Begitulah pemahaman Bima tentang Bapak. Usianya kira-kira lima tahun saat melihat Bapak ditanam kedalam tanah. Bima hanya bingung melihat semua orang menangis sementara Bapak terbungkus kain putih. Sejak saat itu Bapak tidak pernah terlihat lagi.


Mak.
Perempuan ini selalu menyiksa Bima apapun alasannya. Bima tidak pernah benar di mata Mak. Cubit, tampar, pukul, jambak, atau melemparkan sesuatu ke tubuh Bima adalah hal yang kerap dilakukan Mak apabila merasa kesal pada anak itu. Sepertinya kasih sayang Mak pada Bima sudah tidak bersisa. Semua itu ketika Bapak telah pergi.


Bima.
Anak malang yang selalu disiksa oleh Mak. Hari-harinya dihabiskan untuk sekolah, membantu Mak, dan bermain layang-layang. Bima tidak pernah mengerti mengapa Mak selalu menyiksanya. Seperti ia tak mengerti mengapa perempuan jahat itu harus dipanggil dengan sebutan ‘Mak.’ Bima hanya menerima saja hidup yang diberikan padanya. Sekalipun Mak kejam, tapi Mak yang memberi ia makan dan tempat tinggal selama ini. Pun Mak yang mengijinkannya sekolah dan bermain. Bima hanya punya Mak. Begitulah pikirnya.
***

Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar hebat. Langkahnya terasa amat pelan dan gontai. Bima benar-benar ketakutan. Saat menjual makanan tadi, sekawanan preman menghadang dan merampas uang hasil jualannya siang itu. Ludes semuanya. Bima takut pulang ke rumah. Takut dimarahi Mak dan dipukuli lagi. Lebam di kepalanya belum sembuh benar akibat pukulan benda keras oleh Mak kemarin sore. Namun kali ini pastilah ia tak dapat lari dari hukuman Mak.



“Apa?” pekik Mak.
“Maafkan Bima, Mak! Tapi mereka…”
Plaaak! Wajah Bima menghantam ujung tempat tidur di kamar Mak. Ia mengerang kesakitan dan memegangi kepalanya. Darah segar mengucur dari hidung anak malang itu. Cairan berwarna merah menodai baju seragam sekolahnya. Bima memalingkan wajahnya kepada Mak. Berharap Mak kasihan melihat keadaannya. Namun,
“Dasar kamu, Bima! Tidak berguna! Malam ini kamu tidak dapat makan!” teriak Mak murka.
Kembali diseretnya Bima, kali ini ke kamar mandi. Diguyurnya tubuh ceking anak itu dengan air dingin. Lalu ia mengunci Bima, setidaknya sampai besok pagi. Itulah hukuman untuk Bima karena kelalaiannya.



Kasih ibu…
***

Layang-layang merah yang gagah dan biasanya terbang tinggi tidak terlihat sore itu. Begitu pula si empunya layang-layang tidak kelihatan batang hidungnya. Matahari masih bersinar hangat sebelum membenamkan diri. Beberapa anak-anak asik bermain layang-layang. Mereka berlomba layang-layang siapa yang paling tinggi dan kemudian mengadunya. Berlarian kesana kemari, mereka tampak girang sekali. Seolah-olah mereka lupa bahwa si layang-layang merah kebanggaan mereka tidak ada. Bahkan sampai senja menyeruak pun sosok itu tidak kunjung tiba.



Bima menggigil. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak sadar bahwa hari menjelang malam. Hanya bulir-bulir air mata yang tumpah menemani sesalnya. Bima menyesal. Sekali lagi ia telah membuat Mak kecewa dan marah. Dan ia harus menerima semua hukuman ini. Bima semakin menggigil. Malam semakin dingin. Tapi tak satu kata keluar dari mulutnya. Bahkan untuk memanggil Mak agar meringankan hukuman ini.



Kasih ibu…
***

Langit sore yang cerah tampak lengang. Tidak terdengar riuh rendah suara anak-anak bermain layang-layang. Sore itu terasa kosong. Bahkan saat matahari mulai membenamkan diri dan langit berwarna kemerahan hanya sepi yang terasa. Semua orang tengah berduka dan berkumpul di rumah gubuk itu. Beberapa orang tampak membaca ayat-ayat suci dan mendoakan kepergian seseorang. Hingga langit semakin pekat dan orang-orang itu pun berpamitan.



Tadi pagi-pagi sekali Mak akhirnya membuka pintu kamar mandi. Ditemukannya Bima terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Darah yang keluar dari hidungnya telah mengering. Mak iba. Diambilnya handuk dan diselimutinya Bima. Dengan tangan bergetar dirabanya wajah anak itu. Air mata mengalir dari pipinya ketika ia mencium Bima. Sudah lama sekali Mak tak melakukan hal itu. Ada penyesalan dalam batinnya. Lalu kemudian Bima tersadar. Cepat-cepat ia menarik tubuhnya dari Mak. Dengan tangannya yang lemah ia kibaskan pelukan Mak. Pastilah Mak mau mencekiknya, pikir Bima. Ia merangkak dengan cepat menjauhi Mak dan mencari celah agar ia bisa lari dari kamar mandi itu. Mak berusaha menahan dan mencengkeramnya. Bima meronta-ronta lemah. Habislah ia kali ini. Mak kembali memeluknya, seketika itu pula Bima mendorongnya. Pastilah Mak akan memelintir kepalanya, pikir Bima lagi.



Tadi siang ramai warga kampung di pemakaman itu. Ketika semua orang perlahan beranjak, sosok itu masih berdiri di samping makam. Ia menatap pada tanah yang masih basah dan diselimuti taburan bunga mawar. Matanya tidak basah oleh air mata, hanya tatapannya nanar. Ingin sekali ia tidak mempercayainya. Mak terjatuh di kamar mandi tadi pagi. Ia hanya ingin memeluk anaknya. Namun Bima ketakutan dan berpikir lain kemudian mendorongnya. Kepala Mak membentur sudut bak mandi dengan keras. Darah mengucur hebat dari kepalanya. Mak meringis dan menatap Bima. Air matanya berlinang dan dari mulutnya terucap kata maaf. Bima hanya mematung. Orang yang selalu menyiksanya selama ini tak bernapas. Mak mati. Untuk pertama kalinya Bima akan terbebas dari siksaan Mak.
***

Orang-orang berpamitan pada Bima. Kini bocah itu sendirian di rumahnya malam ini dan seterusnya. Tidak ia hiraukan ajakan kerabatnya untuk tinggal di rumah mereka. Bima hanya ingin menikmati kebebasan ini sendiri saja. Mak sudah pergi dan tak ada lagi yang menyiksanya. Tetapi perlahan Bima merasa sepi. Ia rindu teriakan Mak yang menyuruhnya tidur. Ia rindu makian dan pukulan Mak apabila ia melakukan kesalahan. Akhirnya Bima menangis. Ia tahu bahwa sesungguhnya Mak pastilah sangat menyayanginya. Namun malam ini, Bima sendiri. Sambil terisak-isak ia menyanyikan lagu yang pernah diajarkan di sekolahnya.


Kasih ibu kepada beta…
Tak terhingga sepanjang masa…
Hanya memberi tak harap kembali…
Bagai sang surya menyinari dunia…

“Bima sayang Mak,” lirihnya.
 
TAMAT



Baca Artikel lainya:

0 comments:

Posting Komentar