Minggu, 13 November 2011

PENANTIAN






Hari ini mentari bersinar terang seperti biasa.
“Key..!”
“Iya bang , key udah bangun” , sahutku pada abangku.
Bang Ical memang kakak yang sangat baik bagiku. Kami berdua hanya tinggal di rumah kontrakan daerah kebayoran. Setelah kedua orang tuaku meninggal, Bang icallah satu-satunya keluarga yang ku punya. Ia pula yang membiayai kuliahku hingga sekarang.
Sungguh ku tak tahu apa yang akan menimpaku kalau Bang Ical tak ada disampingku.Aku patut bersyukur akan hal itu.
“Abang dadarin telor tuh buat sarapan pagi kamu!” ujarnya sambil menuang segelas air putih untukku
“Abang ga bosen ya tiap hari mesti nyiapin ini semua untuk key?” ucapku pada Bang Ical
Bang Ical menghentikan kegiatannya dan menatapku.
“Adik abang yang satu ini udah mulai capek rupanya sama perhatian abang?”
“Gak bang,Key cuma ga habis pikir aja,abang masih sangat memperhatikan key,padahal key ga pernah berbuat hal apapun untuk abang,key cuma bisa ngerepotin abang, key…” belum selesai perkataanku, Bang Ical menaruh jarinya pada bibirku dan berkata, “key, kamu itu adik abang satu-satunya udah sewajarnya abang jaga kamu.”
“Maafin key ya bang, key ga bisa ngelakuin hal yang buat abang seneng,coba key ga sakit…”
“Syuuut…,abang ga suka kamu ngomongin sakitmu lagi, inget key itu dah jalan dari Allah.” Bang Ical meyakinkanku.
“Dah, cepet dimakan sarapannya nanti kamu telat ke kampus”.
“Oke bos!’ jawabku padanya.
***

Hmm…Pagi ini kampus terlihat sepi,atau mungkin aku yang berangkat terlalu pagi.
“Pagi Key…!”
“Nisa, kamu tuh pagi-pagi dah ngagetin orang aja.” Sahutku kesal pada Nisa.
“Waduh jangan sensi gitu donk key, aku kan cuma bercanda.” Belanya padaku.
“Iya, kapan sih kamu gak bercanda Sa.” Timpalku padanya.
Tapi hanya Nisalah satu-satunya temanku di kampus, yang lain sepertinya enggan berteman denganku. Mereka tahu bahwa diriku hanya orang miskin, adik seorang kuli serabutan di pasar. Ya, tiga tahu terakhir setelah Bang ical di PHK dari pabrik tempatnya bekerja, ia terpaksa menjadi kuli serabutan di pasar. Ia sudah mencari berbagai pekerjaan yang lebih baik dari itu tapi tak ada satupun yang berhasil. Awalnya aku sempat tidak setuju dengan keputusan Bang Ical menjadi kuli serabutan, tapi setelah kupikir, tak ada yang salah menjadi kuli serabutan toh itu pekerjaan yang halal, lebih mulia daripada para pejabat di atas sana yang hanya mempermainkan perasaan rakyatnya.
Karna jam kuliah sudah selesai Nisa mengajakku ke warung gado-gado depan kampus.
“Key kita makan dulu ya perutku laper banget.” Usulnya.
“Ehm, aku masih kenyang Sa, aku temenin aja gimana ?” timpalku.
“Ya udah deh ga papa, kamu yakin key udah makan ?”
“Iya, udah tadi pagi sama Bang Ical.”
“Tadi pagi?”
Aku mengangguk.
“Key, ini udah jam dua siang key, kamu sarapan jam enam tadi kan , pasti kamu laper, aku traktir deh.”
“Tapi aku masih bener-bener kenyang Sa, kamu aja ya, aku temenin deh.”
Aku tak mau lagi-lagi merepotkan Nisa, terlalu banyak kebaikan-kebaikan yang Nisa berikan padaku dan aku tak mau banyak berhutang budi padanya. Aku sudah terbiasa makan dua kali sehari atau bahkan aku tidak makan, tapi Bang Ical selalu mengalah untukku, ia rela tak makan dan membelikan uang hasil kerja kerasnya sebungkus nasi untukku. Penghasilan Bang Ical yang tak menentu itu membuatku berpikir untuk mencari pekerjaan. Setidaknya aku bisa membantu pendapatan Bang Ical, toh itu juga untukku, biaya kuliahku, biaya pengobatanku.
“Key,Key..?” Nisa mencoba mebangunkanku dari lamunanku.
“Eh, iya kenapa Sa ?” jawabku kaget.
“Kamu kenapa, ngelamun gitu?”
“Aku mau cari pekerjaan Sa, kira-kira kamu tahu gak tempat yang lagi nyari pegawai?”
“Kamu mau kerja Part Time? “
“Iya, aku kasihan sama Bang Ical, kalau mesti cari uang sendiri, padahal itu dia lakukan untukku, aku mau sedikit meringankan beban Bang Ical Sa.”
“Kebetulan, omku yang kemarin baru buka café lagi nyari pegawai baru, kamu coba di sana aja.”
“Oh ya, aku mau Sa, mau banget, maksih ya Sa, aku gak tau mesti gimana bales semua kebaikan-kebaikan kamu slama ni sama aku.”
“Key, aku tuh sahabat kamu yang siap bantuin apapun masalah kamu, aku ikhlas bantuin kamu, aku anter sekarang aja gimana key ?”
Aku mengangguk yakin, aku memeluk Nisa, aku sungguh merasa beruntung memiliki sahabat seperti Nisa.
***

“Assalamu alaikum”
“Walaikum salam” terdengar suara Bang Ical dari dalam.
“Kok baru pulang key, kemana dulu kamu ?”
“Bang, Key dapet kerjaan bang, di café punya omnya Nisa.” Ucapku pada Bang Ical penuh semangat.
“Apa? Kerja kata kamu barusan ?” Bang Ical seolah tak percaya.
“Iya Bang, Key diterima kerja di sana , abang jangan larang key ya tuk kerja ya? “
“Tapi key…”
Aku memotong pembicaraan Bang Ical, “Key bisa kok bang, key pengen buktiin ke abang kalau key ga cuma bisa ngerepotin abang aja, key bisa bantuin abang.”
“Key, biarin abang aja yang kerja susah payah, banting tulang, ga perlu kamu ikutan juga, nanti gmana dengan kondisi kamu kalau kamu kerja, kamu itu ga boleh capek-capek key,.”
“Bang, abang sayang kan sama Key?” ujarku sambil menatap Bang Ical penuh harap.
“Ya iyalah abang sayang kamu, sayang banget malah.”
“Makanya abang ijinin ya Key kerja di sana , key kerja ga sampe larut malem kok bang, key bagi waktu juga sama kuliah, key Cuma mau buktiin sama abang kalau key bisa.”
Sepertinya Bang Ical tak dapat menolak permintaanku kali ini. Ia mengangguk dan aku langsung memeluknya. Aku merasa inilah saatnya ku buktikan pada Bang Ical bahwa aku bisa membuatnya bangga dan tersenyum akan hal yang kuperbuat.
Hari ini adalah hari pertama aku bekerja di café, hari yang cukup meletihkan bagiku. Tadi setelah dari kampus aku langsung pergi ke café tanpa sempat mengisi perutku. Aku juga tak berani meminta pada orang cafe, bisa-bisa aku di pecat. Lebih baik aku tahan hingga nanti pulang, walaupun nanti sesampai di rumah aku belum tentu juga bisa makan
Sampai rumah kulihat pintu masih terkunci, kucari kunci rumah di tempat yang biasa. Tapi kenapa sudah malam begini Bang Ical belum juga pulang. Kutunggu Bang Ical di ruang tamu. Dua jam kemudian Bang Ical pulang dengan keadaan babak belur, ia diantarkan seorang laki-laki yang sebelumnya tak pernah kuliat.
“Abang kenapa sih sampe babak belur gini?” tanyaku sambil memeberi Bang Ical segelas air putih.
“Abang tadi dituduh nyopet key, terus abang dikeroyok masa gitu deh, tapi tadi untung ada Rizal, temen abang.” Bang Ical menjelaskan padaku.
“Dah malem, kamu tidur gih, besok kuliah pagi kan kamu?”
“Iya, tapi luka abang perlu di obatin tuh.”
“Biar abang aja, abang kompres nanti juga mending, kamu cepet tidur ya.”
Karna hari ini cukup meletihkan, aku turuti kemauan Bang Ical, aku segera bergegas untuk tidur.Dan sebelum aku tidur aku sempat berdoa pada Allah agar selalu memberiku kesabaran dalam menghadapi semua cobaan berat dalm hidupku, seperti hari ini, aku sungguh tak tega melihat Bang Ical yang seperti itu. Aku percaya Allah punya berjuta rencana indah untukku dan untuk Bang Ical, untuk kami berdua.
***

“Ryan, kamu duduk di tempat kosong sebelah Nisa dan Key.” Pak Togar, dosenku memerintahkan seorang mahasiswa baru untuk duduk di dekatku dan Nisa.
“Hai, aku Ryan kamu siapa? “ tanyanya padaku.
“Aku Nisa dan ini temanku Key.” Nisa langsung memperkenalkan diri tanpa diminta Ryan. Dan aku, aku melihat ke arah Ryan, ia memberikan senyum padaku, namun aku tak menghiraukannya.
Di kantin Nisa selalu membicarakan tentang mahasiswa baru bernama Ryan itu.
“ Key, lihat tuh si Ryan, keren banget deh! “ Nisa mengawali, sambil terus melihat kea rah Eyan.
“Biasa aja kok menurutku.” Jawabku tanpa melihat kearah Ryan.
“Keren tau key, keren banget!”
“Iya deh keren.” Jawabku datar pada Nisa.
Tak beberapa lama HP Nisa berbunyi.
“Iya ma, Nisa pulang sekarang.” Jawabnya dengan rasa terburu-buru.
“Key, aku duluan ya, aku lupa mesti nganterin mama ke tempat omku.”
Aku hanya mengangguk padanya tanda setuju. Aku segera bergegas pergi dan menuju te mpat kerjaku, aku masih punya waktu cukup lama, dua puluh menit, cukuplah untuk menuju kesana malah kupikir masih ada sisa waktu untukku. Namun sial, belum sempat ku menuju halte hujan turun, sangat deras.
Aku berteduh di tepi kantin, sungguh dingin. Aku teringat akan masa kecilku, saat hujan turun, mama selalu memberiku baju hangat buatannya sendiri, mencoba menghangatkanku dari rasa dingin. Namun kini, aku tak pernah merasakan kehangatan yang dulu pernah kudapat dari mama. Tak terasa air mataku terjatuh begitu saja.
“Nih pake!” ujarnya sambil memberiku sebuah sapu tangan.
Kudengar suara seorang pria, ku melihat ke arahnya.
“Ryan?” tanyaku dengan sedikit kaget.
“Iya, ini aku, teman baru kamu tadi, nih ambil dulu, pakailah untuk mengusap air matamu itu.” Ryan menyodorkan sapu tangan warna biru padaku.
“Makasih.” Jawabku datar.
“Kamu ada masalah, key? Key kan namamu, kalau aku tidak salah.”
Aku hanya mengangguk sambil mencoba menghentikan air mataku.
“Gak, gak papa kok, duh aku buru-buru yan mau ke tempat kerjaku.” Jawabku padanya.
“Tapi kan masih hujan key, emang tempat kerjaanmu di mana, biar kuanter?”
“Ga usah nanti malah ngerepotin kamu, tempat kerjaanku di café “LUCKY”.”
“Aku tahu key tempat itu, aku anter ya, sekalian aku mau minum hot chocholate di sana .”
“Tapi…”
“Aku mau nganterin kamu gak ada maksud apa-apa kok key, aku kan sekalian mau minum-minum di sana jadi gak ada salahnya kalau aku ngajak kamu ?” Ryan meyakinkanku.
Aku menarik nafas panjang dan mengangguk padanya.Setelah di café.
“Aku tunggu hot chocolatnya di sini ya key.”
“Iya, tunggu sebentar ya.” Jawabku pada Ryan.
Saat aku akan mengantarkan pesanan Ryan, kepalaku terasa sangat pusing, semuanya terasa berputar, hingga aku rasa aku tak kuat dan setelah itu aku hanya melihat kegelapan.
Aku mencoba membuka mataku perlahan dan perlahan cahaya itu tampak. Aku melihat sosok laki-laki namun itu bukan Bang Ical.
“Kamu udah sadar Key?” Tanyanya padaku.
“Ryan ? kamu kok di sini? Aku dimana sekarang? Aku mesti kerja bukan tiduran di sini.” Jawabku sambil berusaha bangkit dari tidurku.
“Key, kamu tadi pingsan dan kamu perlu istirahat dulu, sekarang kamu di Pantry, kamu harus istirahat dulu key, biar aku yang ijinin ke atasan kamu, ya?” Pintanya padaku
“Tapi yan aku masih baru di sini , aku gak enak sama atasanku.”
“Biar aku yang urus.” Ryan lagi-lagi membuatku tak bisa menolak.
Dan mungkin juga aku memang tidak menolak, aku sangat merasa tidak fit dan aku sangat lemah dengan kondisiku saat itu.
Setelah Ryan berbicara dengan atasanku ia mengantarkanku pulang dan saat aku sampai rumah, Bang Ical belum pulang.
“Makasih ya yan, kamu gak usah nganter sampe dalem, sampe sini aja, aku bisa kok sendiri.” Pintaku pada Ryan.
“Kamu yakin?” Ryan masih belum percaya aku baik-baik saja.
Aku mengangguk dan Ryan tersenyum, tanda ia percaya padaku. Untung tadi Ryan tak membawaku ke rumah sakit, kalau Ryan membawaku ke rumah sakit pasti bisa bertambah rumit nantinya. Saat Bang Ical pulang, ia tak sedikitpun merasa curiga padaku.Aku sudah terlelap saat ia pulang.
***

Pagi itu aku bangun lebih pagi daripada Bang Ical, tapi entah kenapa aku merasa rasa pusing kemarin itu datang lagi bahkan lebih sakit rasanya. Aku tak dapat menahannya hingga akhirnya aku terjatuh tak sadarkan diri.Saat aku terbangun, aku melihat Bang Ical di sampingku, ia tersenyum penuh kelegaan kurasa.
“Syukur kamu udah sadar key.” Bang Ical membelai halus rambutku.
“Key kenapa tadi Bang?” Tanyaku pada Bang Ical.
“Kamu tadi pingsan, makanya abang bawa kamu ke rumah sakit.”
“Kenapa mesti ke rumah sakit sih bang, kan mahal biayanya.” Ujarku penuh sesal.
“Kamu gak usah pikirin biaya, abang dah jual jam tangan peninggalan papa buat kita dan itu cukup untuk biaya kamu sekarang.” Bang Ical menjelaskan padaku.
“Tapi bang, itu kan satu-satunya peninggalan papa, kenapa abang jual, ini semua gara-gara key, coba key gak sakit, pasti jam itu masih jadi milik kita.”ucapku.
“Key, papa kan pernah bilang kalau jam ini di tinggalin ke kita memang untuk keperluan mendadak kaya sekarang ini, kamu ga perlu menyesal gitu.”
“Bang, abang gak perlu susah payah gitu, key sadar kok bang sakit key tu gak kan bisa sembuh, key sadar kalau mungkin key gak kan lama lagi hidup, itu justru akan menyulitkan hidup kita terutama abang.” Ucapku dengan berlinang air mata.
“Key, kamu gak boleh patah semangat, kamu bisa sembuh kok, pasti bisa.” Bang Ical memelukku mencoba menenangkan.
Aku tak bisa berkata apapun karna aku sangat tahu dari tatapan Bang Ical, tatapan yang menandakan bahwa memang apa yang kukatakan pada Bang Ical tadi benar adanya, aku tak kan bisa sembuh, tak kan pernah bisa. Dua hari keadaanku membaik, dokter membolehkan aku pulang. Saat aku bersiap-siap pulang Ryan tiba-tiba datang.
“Loh Key, udah mau pulang ya, emangnya kamu udah sembuh?” Tanyanya padaku.
“Iya, aku udah boleh pulang sama dokter, keadaanku memungkinkan untuk pulang, lagipula aku gak mau menghabiskan banyak biaya di sini yan.”
“Ehem-ehem, siapa dia key?” Bang Ical mengejutkanku dan Ryan.
“Ini Ryan bang temen kuliah key, yan ini Bang Ical, kakakku satu-satunya.” Aku mengenalkan Bang Ical pada Ryan. Mereka bersalaman. Tak lama dokter datang ia berbicara serius dengan Bang Ical sementara aku membereskan semua baju-bajuku dan Ryan, ia membantuku. Ryan menawarkan mengantarku pulang, namun Bang Ical tak membolehkan. Tapi setelah Ryan mengatakan kalau aku lebih baik pulang dengan mobil dari pada pulang dengan motor Bang Ryan yang sudah tua, Bang Ryan membolehkan, tentu saja karna ia memperhatikan kondisiku yang memang belum sembuh betul.
Sejak saat itu Ryan dan aku menjadi lebih dekat, Bang Ical bahkan tak seperti biasanya, ia tak melarangku berhubungan dekat dengan Ryan, entah apa alasannya. Hampir tiap hari Ryan mengantar dan menjemputku, aku tak memintanya melakukan itu untukku, tapi aku tak tahu kenapa saat Ryan melakukan itu, aku sangat merasa nyaman. Ryan sangat melindungiku, menjagaku, dan ia sangat tahu bagimana memperlakukan wanita.
Siang itu sangat terik, namun tak terasa waktu begitu cepat. Sore hari Ryan menjemputku seperti biasa. Sebelum pulang ia mengajakku ke sebuah tempat yang kelihatannya sangat sederhana. Aku lebih suka menyebutnya bukit, karna cukup tinggi kukira.
“Kenapa kita ke sini yan?” tanyaku pada Ryan penuh heran.
Ryan mengajakku duduk. “Key, mungkin inilah saatnya aku bicara tentang semua perasaanku sama kamu, Key, aku sayang kamu.”
Aku diam sejenak, “Yan, aku bukan cewek yang pantas untuk kamu, aku hanya cewek miskin, adik seorang kuli serabutan pasar, seorang cewek yang gak punya banyak teman… belum sempat aku meneruskan pembicaraanku Ryan menutup bibirku.
“Key, aku bukan tipe cowok yang gampang jatuh cinta, aku punya pengalaman buruk dengan cinta, tapi entah kenapa key, aku merasa kalau kamu sangat spesial di hatiku, aku tak peduli siapa dan bagaimana keadaan kamu.” Ryan berdiri dan melanjutkan bicaranya, “Awalnya aku hanya ingin berteman baik dengan kamu, tapi seiring berjalannya waktu aku ga bisa menutupi semua persaanku, aku ga hanya ingin menjadi temanmu, menjadi sahabat, tapi aku ingin menjadi orang yang jauh lebih dekat denganmu.”
“Tapi yan aku …
“Aku ga meminta jawaban apapun dari kamu key, untuk saat ini aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sayang kamu, aku gak kan ninggalin kamu, aku akan selalu ada untuk kamu.” Ryan meyakinkanku.
Aku hanya diam, tak dapat berkata apa-apa. Setelah itu Ryan mengajakku pulang. Bang Ical yang waktu itu sudah berada di rumah, meminta Ryan untuk mampir namun Ryan menolak karna ia harus menyelesaikan urusan lain. Hari ini, entah kenapa aku merasa senang, setidaknya aku tahu bahwa Ryan menyayangiku. Tapi aku takut, aku takut kalau aku membiarkan perasaanku ini aku akan akan merasakan sakit, karna sesungguhnya aku juga menyayangi Ryan, bahkan kupikir aku mulai mencintai Ryan.
***

Satu bulan setelah Ryan menyatakan persaannya, aku dan dia menjadi lebih dekat, sangat dekat rasanya. Ia bahkan memberi pekerjaan pada Bang Ical. Kini Bang Ical bekerja di kantor ayahnya Ryan. Sore itu saat Ryan menjemputku aku berkata pada Ryan, “Yan aku mau bicara sama kamu.”
“Apa?” Ryan sedikit penasaran.
“Aku juga sayang kamu yan.” Aku tak dapat menyembunyikan raut wajah maluku.
Ryan memegang tanganku, “Kamu mau jadi pacarku key?”
Aku mengangguk penuh arti.Setelah itu juga ryan mengantarku pulang. Namun sesampai di rumah hatiku tak tenang. Aku merasa sangat egois, tak seharusnya aku jujur, karna aku tahu kejujuran yang telah kukatakan tak kan berbuah manis seperti yang kuharapkan.Aku tahu aku hanya akan meninggalkan luka di hai Ryan.
Tujuh bulan sudah aku menjalani ini semua dengan Ryan. Aku sangat mencintainya, sangat. Aku tak tahu apakah aku harus jujur pada Ryan, karna kata dokter kanker itu sudah menjalar ke seluruh sel tubuhku. Di satu sisi aku tak mau kehilangan Ryan, tapi di sisi lain aku tahu, aku justru akan meninggalkan luka untukknya. Aku bicarakan semua ini pada Bang Ical. Bang Ical sangat tahu persaanku. Ia pasti tahu kalau Ryan adalah cinta pertama dan terakhir bagiku. Aku bimbang, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Kondisiku semakin hari semakin buruk, sudah dua minggu aku dan Ryan tak bertemu. Aku sengaja tak memberi kabar, aku ingin dia melupakanku, menjauhiku atau bahkan membenciku. Walau hatiku sangat terluka, tapi kurasa inilah yang terbaik untukku dan Ryan. Kudengar suara mobil Ryan datang. Aku meminta Bang Ical menemuinya.
“Key ada bang?” Tanyanya pada Bang Ical.
“Yan, maafin abang sebelumnya, kamu lebih baik putus sama Key.”
“Loh kenapa bang, sepertinya abang salah paham, mungkin key bilang pada abang kalau dua minggu terakhir saya ga menghubungi key, tapi itu bukan karna saya gak perhatian atau lupa sama key bang, tapi karna saya ada urusan keluarga.” Ryan menjelaskan pada Bang Ical.
“Bukan itu, tapi…
Tiba-tiba Ryan masuk kekamarku ia memintaku memberi penjelasan.Aku keluar dari kamar dan duduk di kursi.
“Yan, kita putus aja ya.”
“Kenapa kamu tiba-tiba minta putus?”
“Karna sampai kapanpun kita gakan bisa bersama yan, ga kan .” Aku tak dapat membendung air mataku.
Ryan memelukku, “Kenapa key, beri aku penjelasan?”
“Aku sakit yan, sakit dan gak kan sembuh, aku cuma akan mati, aku dah coba bertahan, aku coba tetap bersama kamu, menjalaninya sama kamu, mencintai kamu, aku bertahan sama semua itu, tapi sekarang aku menyerah yan, aku ga sanggup.”
“Key, aku akan menjalani semua ini sama kamu, aku gak kan ninggalin kamu, aku akan nemenin kamu, apapun keadaan kamu,karna aku sangat mencintai kamu.” Ryan meyakinkanku
“Kita jalani semua ini bersama ya?” Ryan menatapku
Aku memeluk Ryan dan mengangguk. Dalam hati aku hanya dapat berharap, saat penantianku itu tiba, aku dapat menerimanya, aku dapat tersenyum karna Ryan dan Bang Ical masih bersamaku, terutama Ryan. dialah kekuatanku sampai ajal menjemputku nanti.
Terima kasih Tuhan, Engkau memberiku kekuatan tuk bertahan, bertahan dalam penantian, yang ku tak pernah tau akan segera tiba atau tidak .
-***-


Baca Artikel lainya:

0 comments:

Posting Komentar