Tweet |
“Semua yang
di dunia ini bukanlah suatu yang abadi. Yang terpenting adalah menjadikan
orang-orang bahagia bila kau disisi mereka. Buatlah dirimu menjadi berharga.”
Namaku adalah Hikari. Baru
lulus SMA. Aku mempunyai masa lalu yang buruk. Aku ditinggal oleh orang yang
kusayangi.
Pagi itu aku menghembuskan nafas. Beberapa detik tertahan, hanya untuk mengingat kata-kata yang pernah terlontar dari mulut Maru. Setahun berlalu sejak kematiannya, aku belum bisa memenuhi janjiku untuk tidak menangis lagi. Sosok Maru yang kini tlah hilang, membuatku jatuh terperosok jauh ke dalam.
Mungkin mereka yang lain takkan pernah mengerti diriku. Sesaat mereka melupakan semuanya. Melupakan kematian Maru. Melupakan segala-galanya. Aku tidak pernah mengira saat itu adalah senyum terakhirnya. Aku sangat menyayangi Maru.
Sekeliling begitu sepi. Aku sendirian. Aku begitu terpuruk. Hanya ada burung-burung yang berkicau. Aku duduk disebuah kursi yang diteduhi pohon sakura. Tempat ini mengingatkanku dengan Maru. Alunan angin menjatuhkan daun-daun bunga Sakura. Seperti daun itu, jatuh. Aku tejatuh. Aku menangis mengingat semuanya.
“Kau kenapa? Kau selalu saja seperti itu. Menangis sendirian.”
Seseorang menghampiriku. Aku berangkat dan berjalan menjauh. Entah siapa dia. Tiap kali datang dan melihatku menangis. Kata-katanya selalu tidak sopan. Aku pulang ke rumah dan langsung masuk kamar. Sesekali keluar hanya untuk ke kamar mandi dan makan. Itulah kebiasaanku sehari-hari. Aku tidak begitu memperdulikan ibuku yang khawatir kepadaku. Tenanglah ibu!
Besok, aku ke tempat itu lagi. Maru, apa kabarmu? Aku tidak ingin berpisah dengan tempat ini. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki. Aku menoleh dan berteriak sedikit kesal.
“Kau! Kenapa selalu mengikutiku? Tidak sopan.“
Dia tersenyum. Tenang sekali. Aku sedikit heran.
“Kenapa melihatku seperti itu? Suka ya?”
Aku gelagapan. Sial! Sosok yang mirip sekali dengan Maru.
“Aku tanya, kenapa selalu mengikutiku?”
“Ku lihat kau selalu sedih. Aku ingin menghiburmu.”
“Tidak ada hubungannya denganmu.”
“Kenapa? Tapi lebih baik lupakanlah orang itu.”
Aku terkaget-kaget. Dia tahu dari mana?
“Seharusnya kau bisa mengerti. Dia itu tidak akan bisa hidup lagi. Percuma kau tangisi, Cuma membuang air matamu yang bening itu saja.”
Aku berlari sambil menangis. Entah apa maksudnya dia bicara seperti itu. Aku sakit sekali. Hatiku perih. Laki-laki itu menatap Hikari dengan senyum yang tulus. Beberapa saat kemudian keduanya pun menghilang. Selanjutnya, esok hari aku kembali lagi ke tempat itu. Hanya untuk mencoba bertemu lagi dengan laki-laki kemarin. Tapi, setelah lama menunggu, laki-laki itu belum muncul juga. Yang ada hanya gugurnya daun Sakura yang tertiup angin. Sejuk sekali!
Akhirnya aku pulang. Tapi aku kurang berhati-hati. Ada sebuah mobil melaju dengan kencang menuju aku. Disaat bersamaan muncul laki-laki kemarin. Dia berteriak.
“Aaaaaa. .!” (telat)
Belum selesai dia berteriak awas, aku sudah tertabrak dulu. Tetapi untunglah mobil itu sempat mengerem. Mataku mulai berkunang-kunang dan aku merasa ada yang mengangkat dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku pingsan, tanpa mengetahui siapa orang itu.
Setengah jam kemudian aku terbangun dan aku sudah ada di rumahku sendiri.
“Ini minum. Kau tidak apa-apa?,” seseorang menyodorkan minuman.
“Kau? Kenapa kau bisa ada disini? Hmmb. . jangan-jangan. .-“
Belum selesai aku bicara, dia memotong.
“Ya..ya.. aku yang membawamu pulang. Terkejut ya?”
“Tidak. Aku tidak terkejut.”
“Lalu apa?”
“Cuma takut. Wajahmu seram. Hehe..”
“Bohong. Bilang saja kalau kau terkejut.”
Aku mengangguk pelan. Hmmb.. aku belum tahu namanya. Aku pun bertanya.
“Namamu siapa?
“Aku shano. Kau Hikari kan?”
“Dari mana kau tahu namaku?”
“Aku sering memperhatikanmu.”
Shano tersenyum. Tersenyum tulus. Tapi aku tidak begitu memperhatikan dia tersenyum. Lalu ibu datang membawakan makanan.
“Hikari, kau sudah sadar?” tanya ibu.
Aku mengangguk pelan.
“Terima kasih Shano sudah membawa Hikari pulang.”
“Sama-sama. Aku pergi dulu, Bu. ada kerjaan dirumah,” Shano pamit pulang.
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya Shano. Sering-sering datang kesini.”
Shano tersenyum. Ibu mengantarnya sampai keluar rumah.
“Hati-hati. .”
“Iya,” Shano berjalan pulang dengan sedikit senang.
Seminggu kemudian aku sudah mulai agak sehat. Tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk pergi ke tempat itu lagi. Bagiku, pergi kesana sangat menyenangkan. Walaupun harus membuatku mengingat Maru. Walaupun harus membuatku sedikit sedih. Aku tetap ingin pergi kesana. Karena disanalah tempat aku menemukan kebahagiaan. Disanalah tempat ketika Maru mengajarkanku arti kehidupan. Terima kasih atas 3 tahun yang penuh kebahagiaan.
Aku duduk di kursi. Menghirup udara segar. Seketika hening, terdengar siulan merdu. Kulihat ke kanan. Ternyata Shano. Dia lalu duduk di sebelahku.
“ Sudah sehat?”
“Iya. Apa kabar?”
“Baik. Kenapa kau selalu pergi kesini?”
Aku menundukkan kepala.
“Aku hanya ingin mengingat masa lalu.”
Tiba-tiba Shano berdiri.
“Kalau kau selalu kesini, kau akan semakin terhanyut.”
Aku menangis terisak dan sedikit berteriak.
“Kau tahu apa?”
“Aku tidak tahu. Makanya aku ingin tahu. Asal kau tahu, orang yang mati tidak akan hidup lagi. Untuk apa kau terpuruk? Untuk apa kau lari dari kenyataan? Yang kau perlukan adalah bagaimana cara menghadapi kenyataan tersebut.”
Suara Shano meninggi. Matanya menatapku. Aku terkejut. Aku tidak berani menatap matanya. Aku semakin terisak.
“Dia pasti menginginkanmu bahagia. Bukan seperti ini. Larut dalam kesedihan. Ketahuilah, di dunia ini masih banyak orang yang sayang padamu. Apa kau tidak sadar mereka khawatir? Apa kau tidak pernah mengerti mereka? Mereka bersusah payah untuk membuatmu bahagia. Paling tidak lihatlah sekelilingmu”
Aku berpikir. Memang benar apa kata Shano. Akulah yang bodoh. Selalu mementingkan diri sendiri. Mungkin aku terlalu egois.
“Maafkan aku,” aku membersihkan air mataku dan berdiri. Tanpa ada kata pamit, aku langsung beranjak pulang. Aku ingin meminta maaf pada ibu. Aku ingin meminta maaf pada semua orang.
Semenjak saat itu, aku mulai dekat dengan Shano. Selalu pergi bersama. Hari-hariku mulai indah. Ternyata benar, orang akan bahagia bila kita bahagia. Terima kasih Shano atas semuanya. Terima kasih telah membuatku sadar.
Musim semi mendatang, aku harus pergi ke Paris untuk belajar disana. Rasanya berat sekali meninggalkan Shano. Meninggalkan keluarga. Meninggalkan semuanya. Tapi tidak apa, mereka semua selalu mendukungku, agar aku sukses. Mereka menyayangiku. Aku harus buat mereka bangga. Aku harus membuat diriku menjadi berguna.
Ketika tiba hari keberangkatanku, aku diantar keluargaku ke bandara. Shano juga menyertai keluargaku. Dua jam kemudian, terdengar panggilan bahwa pesawat akan segera diberangkatkan. Aku mengucapkan selamat tinggal. Aku bilang pada mereka, ketika aku pulang nanti aku akan membawakan suatu kebanggaan kepada mereka.
Aku berjalan perlahan. Sayup-sayup suara mereka mulai menghilang. Terima kasih semua telah membuat diriku menjadi berarti.
Pagi itu aku menghembuskan nafas. Beberapa detik tertahan, hanya untuk mengingat kata-kata yang pernah terlontar dari mulut Maru. Setahun berlalu sejak kematiannya, aku belum bisa memenuhi janjiku untuk tidak menangis lagi. Sosok Maru yang kini tlah hilang, membuatku jatuh terperosok jauh ke dalam.
Mungkin mereka yang lain takkan pernah mengerti diriku. Sesaat mereka melupakan semuanya. Melupakan kematian Maru. Melupakan segala-galanya. Aku tidak pernah mengira saat itu adalah senyum terakhirnya. Aku sangat menyayangi Maru.
Sekeliling begitu sepi. Aku sendirian. Aku begitu terpuruk. Hanya ada burung-burung yang berkicau. Aku duduk disebuah kursi yang diteduhi pohon sakura. Tempat ini mengingatkanku dengan Maru. Alunan angin menjatuhkan daun-daun bunga Sakura. Seperti daun itu, jatuh. Aku tejatuh. Aku menangis mengingat semuanya.
“Kau kenapa? Kau selalu saja seperti itu. Menangis sendirian.”
Seseorang menghampiriku. Aku berangkat dan berjalan menjauh. Entah siapa dia. Tiap kali datang dan melihatku menangis. Kata-katanya selalu tidak sopan. Aku pulang ke rumah dan langsung masuk kamar. Sesekali keluar hanya untuk ke kamar mandi dan makan. Itulah kebiasaanku sehari-hari. Aku tidak begitu memperdulikan ibuku yang khawatir kepadaku. Tenanglah ibu!
Besok, aku ke tempat itu lagi. Maru, apa kabarmu? Aku tidak ingin berpisah dengan tempat ini. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki. Aku menoleh dan berteriak sedikit kesal.
“Kau! Kenapa selalu mengikutiku? Tidak sopan.“
Dia tersenyum. Tenang sekali. Aku sedikit heran.
“Kenapa melihatku seperti itu? Suka ya?”
Aku gelagapan. Sial! Sosok yang mirip sekali dengan Maru.
“Aku tanya, kenapa selalu mengikutiku?”
“Ku lihat kau selalu sedih. Aku ingin menghiburmu.”
“Tidak ada hubungannya denganmu.”
“Kenapa? Tapi lebih baik lupakanlah orang itu.”
Aku terkaget-kaget. Dia tahu dari mana?
“Seharusnya kau bisa mengerti. Dia itu tidak akan bisa hidup lagi. Percuma kau tangisi, Cuma membuang air matamu yang bening itu saja.”
Aku berlari sambil menangis. Entah apa maksudnya dia bicara seperti itu. Aku sakit sekali. Hatiku perih. Laki-laki itu menatap Hikari dengan senyum yang tulus. Beberapa saat kemudian keduanya pun menghilang. Selanjutnya, esok hari aku kembali lagi ke tempat itu. Hanya untuk mencoba bertemu lagi dengan laki-laki kemarin. Tapi, setelah lama menunggu, laki-laki itu belum muncul juga. Yang ada hanya gugurnya daun Sakura yang tertiup angin. Sejuk sekali!
Akhirnya aku pulang. Tapi aku kurang berhati-hati. Ada sebuah mobil melaju dengan kencang menuju aku. Disaat bersamaan muncul laki-laki kemarin. Dia berteriak.
“Aaaaaa. .!” (telat)
Belum selesai dia berteriak awas, aku sudah tertabrak dulu. Tetapi untunglah mobil itu sempat mengerem. Mataku mulai berkunang-kunang dan aku merasa ada yang mengangkat dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku pingsan, tanpa mengetahui siapa orang itu.
Setengah jam kemudian aku terbangun dan aku sudah ada di rumahku sendiri.
“Ini minum. Kau tidak apa-apa?,” seseorang menyodorkan minuman.
“Kau? Kenapa kau bisa ada disini? Hmmb. . jangan-jangan. .-“
Belum selesai aku bicara, dia memotong.
“Ya..ya.. aku yang membawamu pulang. Terkejut ya?”
“Tidak. Aku tidak terkejut.”
“Lalu apa?”
“Cuma takut. Wajahmu seram. Hehe..”
“Bohong. Bilang saja kalau kau terkejut.”
Aku mengangguk pelan. Hmmb.. aku belum tahu namanya. Aku pun bertanya.
“Namamu siapa?
“Aku shano. Kau Hikari kan?”
“Dari mana kau tahu namaku?”
“Aku sering memperhatikanmu.”
Shano tersenyum. Tersenyum tulus. Tapi aku tidak begitu memperhatikan dia tersenyum. Lalu ibu datang membawakan makanan.
“Hikari, kau sudah sadar?” tanya ibu.
Aku mengangguk pelan.
“Terima kasih Shano sudah membawa Hikari pulang.”
“Sama-sama. Aku pergi dulu, Bu. ada kerjaan dirumah,” Shano pamit pulang.
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya Shano. Sering-sering datang kesini.”
Shano tersenyum. Ibu mengantarnya sampai keluar rumah.
“Hati-hati. .”
“Iya,” Shano berjalan pulang dengan sedikit senang.
Seminggu kemudian aku sudah mulai agak sehat. Tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk pergi ke tempat itu lagi. Bagiku, pergi kesana sangat menyenangkan. Walaupun harus membuatku mengingat Maru. Walaupun harus membuatku sedikit sedih. Aku tetap ingin pergi kesana. Karena disanalah tempat aku menemukan kebahagiaan. Disanalah tempat ketika Maru mengajarkanku arti kehidupan. Terima kasih atas 3 tahun yang penuh kebahagiaan.
Aku duduk di kursi. Menghirup udara segar. Seketika hening, terdengar siulan merdu. Kulihat ke kanan. Ternyata Shano. Dia lalu duduk di sebelahku.
“ Sudah sehat?”
“Iya. Apa kabar?”
“Baik. Kenapa kau selalu pergi kesini?”
Aku menundukkan kepala.
“Aku hanya ingin mengingat masa lalu.”
Tiba-tiba Shano berdiri.
“Kalau kau selalu kesini, kau akan semakin terhanyut.”
Aku menangis terisak dan sedikit berteriak.
“Kau tahu apa?”
“Aku tidak tahu. Makanya aku ingin tahu. Asal kau tahu, orang yang mati tidak akan hidup lagi. Untuk apa kau terpuruk? Untuk apa kau lari dari kenyataan? Yang kau perlukan adalah bagaimana cara menghadapi kenyataan tersebut.”
Suara Shano meninggi. Matanya menatapku. Aku terkejut. Aku tidak berani menatap matanya. Aku semakin terisak.
“Dia pasti menginginkanmu bahagia. Bukan seperti ini. Larut dalam kesedihan. Ketahuilah, di dunia ini masih banyak orang yang sayang padamu. Apa kau tidak sadar mereka khawatir? Apa kau tidak pernah mengerti mereka? Mereka bersusah payah untuk membuatmu bahagia. Paling tidak lihatlah sekelilingmu”
Aku berpikir. Memang benar apa kata Shano. Akulah yang bodoh. Selalu mementingkan diri sendiri. Mungkin aku terlalu egois.
“Maafkan aku,” aku membersihkan air mataku dan berdiri. Tanpa ada kata pamit, aku langsung beranjak pulang. Aku ingin meminta maaf pada ibu. Aku ingin meminta maaf pada semua orang.
Semenjak saat itu, aku mulai dekat dengan Shano. Selalu pergi bersama. Hari-hariku mulai indah. Ternyata benar, orang akan bahagia bila kita bahagia. Terima kasih Shano atas semuanya. Terima kasih telah membuatku sadar.
Musim semi mendatang, aku harus pergi ke Paris untuk belajar disana. Rasanya berat sekali meninggalkan Shano. Meninggalkan keluarga. Meninggalkan semuanya. Tapi tidak apa, mereka semua selalu mendukungku, agar aku sukses. Mereka menyayangiku. Aku harus buat mereka bangga. Aku harus membuat diriku menjadi berguna.
Ketika tiba hari keberangkatanku, aku diantar keluargaku ke bandara. Shano juga menyertai keluargaku. Dua jam kemudian, terdengar panggilan bahwa pesawat akan segera diberangkatkan. Aku mengucapkan selamat tinggal. Aku bilang pada mereka, ketika aku pulang nanti aku akan membawakan suatu kebanggaan kepada mereka.
Aku berjalan perlahan. Sayup-sayup suara mereka mulai menghilang. Terima kasih semua telah membuat diriku menjadi berarti.
“Aku menyayangimu, Maru. Aku tidak akan
melupakanmu dan semua kenangan tentang kita. Semoga kau bahagia disana. Tuhan,
tolong jaga Maru. Terima kasih telah menggantikan Maru dengan sosok yang telah
membuat diriku menjadi berharga.”
-***-
0 comments:
Posting Komentar